Untuk Apa Kita Hidup?

Beberapa hari yang lalu, di sela-sela kesibukanku, aku menyempatkan diri membuka situs jejaring sosial yang mulai turun pamor. Dalam situs itu, aku dengan isengnya --- secara tidak sengaja --- membaca tulisan (baca: notes) dari salah seorang teman di kampusku, yang notabene cukup memiliki pengaruh di lingkungan sekitarnya. Tulisan itu cukup menarik dan aku sempat membacanya hingga tuntas. Lumayan lah untuk membunuh waktu, bukankah itu yang kita lakukan selama ini baik secara sadar maupun tidak sadar? Catatan itu pada akhirnya menimbulkan semua pertanyaan bagi para pembacanya. Pertanyaan yang cukup familiar bagi seluruh anak cucu Adam. Pertanyaan menawan --- yang bisa aku jamin secara pasti pernah muncul satu kali dalam pikiran kalian masing-masing --- untuk kita renungkan bersama-sama. Pertanyaan itu adalah: "Untuk apa kita hidup?"

Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Pertanyaan yang paling esensial bagi kita semua yang mengaku memiliki akal pikiran. Pertanyaan yang bisa muncul hanya sekali, dan jika beruntung langsung akan mendapatkan jawabannyam dan jika sial tidak bisa menjawabnya... silahkan berdoa lebih banyak lagi, niscaya pertanyaan itu akan menghantui sampai jawabannya ditemukan. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dalam diskusi kecil itu. Seperti biasa, aku menjawab dengan praktis dan penuh logika. Jawabanku adalah: "Untuk mati."

Sungguh, bukan itu bagian serunya. Yang bisa kita nikmati adalah membaca satu demi satu, secara perlahan, jawaban peserta diskusi kecil itu. Tentu saja setiap orang berhak dan bertanggung jawab atas respon mereka masing-masing terhadap tulisan itu. Ada yang menjawab sesuai kitab suci kepercayaannya, ada yang menjawab secara normatif, ada yang menjawab secara humoris dan --- seperti biasa --- ada yang menjawab mengikuti jawaban orang lain. Aku rasa semua jawabannya benar, karena hidup adalah milik kita masing-masing.

Mengapa aku menjawab demikian sederhana? Hanya karena itu adalah fakta. Bukankah seluruh mahluk yang bernyawa, cepat atau lambat, pasti akan kembali kepada semesta. Jangankan mahluk hidup, nyala api lilin kecil saja dapat hilang sekejap dengan tiupan lembut, aliran sungai bisa berhenti apabila kita menginginkannya (tanpa mendahulukan Yang Maha Kuasa) dengan membuat dam atau bangunan penghambat lainnya, angin dapat terperangkap bosan --- berputar-putar dalam tempat yang sama --- apabila terjebak dalam balon karet yang jikalau ditusuk sebuah jarum kecil akan berangsur menjadi sia-sia. Ya, kita hidup untuk mati. Tidak lebih, tidak kurang.

Lalu setelah mati, apa yang akan terjadi? Aku sendiri tidak tahu, karena aku belum pernah mengalaminya dan masih sempat membuat tulisan ini. Kalau pun aku pernah mengalaminya, apa yang bisa menjamin aku akan kembali dan menceritakan itu semua kepada kalian semua? Harapan kosong, karena lebih baik aku simpan untuk diriku sendiri pengalaman itu, karena aku manusia --- bukan karena aku pernah mengalaminya. Tentu saja, sesuai dengan kepercayaanku, hidup setelah mati itu ada dan benar. Dan sebelum itu diwajibkan menunggu dalam liang kubur di sebuah alam terpisah lalu menunggu hari akhir dan pembalasan. Tetapi seperti yang kita ketahui, kita semua adalah bangsa negara kesatuan republik yang kita cintai, ya kan? Oleh karena itu aku menulis dalam bahasa ibu pertiwi --- kecuali tulisan ini menjadi terkenal dan diterjemahkan dalam bahasa lain. Aku tentu saja tidak bisa memaksakan apa yang aku yakini dan aku percayai dengan segenap hati kepada orang lain yang berbeda sudut pandang dalam menjalani hidupnya. Oleh karena itu, aku tidak bisa melanjutkan dialog itu dari sisi keyakinan. Sehingga untuk melanjutkan jawaban itu, aku memilih jalan logika. Untuk apa kita hidup? Untuk mati. Demikianlah apa adanya, lagi-lagi ini adalah fakta murni dan belum ada orang yang kembali dari kematian --- setidaknya hingga yang aku kenal secara pribadi sampai saat ini.

Untuk mati. Itulah kata kuncinya. Perbedaan keyakinan tidak akan membuatmu bisa menghidarinya. Cepat atau lambat, ia akan mengetuk tiba-tiba dan berkunjung mendadak di pintu milikmu. Lalu? Ya, setelah engkau mati apa yang terjadi? Engkau menjadi mayat. Merepotkan orang lain. Segala sesuatu diurus oleh orang lain. Mulai dari mandi hingga memakai pakaian terakhirmu. Apa yang bisa engkau bawa dengan kematian? Salah satu etnis mempercayai bahwa mengubur harta benda milik sang mayat akan membantunya nanti di alam setelah ia mati. Aku skeptis. Paling-paling hanya akan membantu maling kuburan agar kelurganya bisa makan untuk sementara waktu. Toh, bukankah lebih baik agar harta benda itu digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat?

Apa yang dibawa setelah kematian datang kepada kita masing-masing? Apakah nama baik? Ya, tentu saja apabila engkau hidup selalu dalam kebaikan dan tidak pernah berlinang dalam dosa, tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Mungkinkah?

Jadi, apa yang akan kita bawa setelah kematian datang? Jawabannya: tidak ada. Secara logis. Bahkan pakaian terakhir itu sebenarnya tidak diperlukan. Bangkai mana yang butuh untuk menutup bagian-bagian pribadinya? Toh dia sudah mati, sudah tidak bisa apa-apa lagi.

Lalu, apa yang tersisa?



Misteri.



Kita tidak akan tahu sampai kita mengalaminya. Tentu saja kita sudah diberikan petunjuk sesuai kepercayaan masing-masing --- semoga saja itu benar --- dan tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ingatlah, hidup ini hanya sekali. Bukan seperti permainan yang bisa di save lalu kita load disaat kita game over karena kebodohan kita sendiri dalam memainkannya. Ah! Jadi banyak omong begini. Maafkan. Kalau begitu, aku tutup saja tulisan ini dengan salah satu potongan dari lagu Nicky Astria: "Dunia ini, adalah panggung sandiwara."

Sekian.



Bohong! Hehehe, kalau dunia ini adalah panggung sandiwara... apa yang membuatmu yakin bahwa sang sutradara menyukai lakonmu dalam karyanya? Bahkan apa yang membuatmu yakin bahwa sang sutradara tidak sedang bermain-main untuk mengisi waktu luangnya karena bosan akan kesepian sehingga menciptakan pentas ini semua?

Selamat Pagi

Sekarang para bintang dan bulan sedang bersembunyi. Di luar sana begitu kelam dan dingin. Aku di sini hanya berdiri menatap lewat jendela namun yang terlihat hanyalah bayanganku sendiri dengan raut muka yang samar, aku memeluk kegelapan.

Sungguh menakjubkan ketika malam bisa membuat kita berubah sesaat. Ia bisa menyulap dengan pandainya, tak seperti waktu yang berjalan santai kemudian menepuk pundak kita dari belakang dan mengatakan semuanya sudah terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Hujan yang begitu derasnya membuat semua anak Adam semakin melindungi kewarasan mereka sendiri dibalik selimut hangatnya masing-masing. Ya, malam ini langit meneteskan air matanya tanpa henti, membasahi bunda bumi yang perlahan-lahan mendekati kematian.

Suatu ketika pernah terjadi badai besari di Ibukota. Pohon-pohon besar nan perkasa tumbang penuh malu. Kotoran-kotoran muncul, berenang bebas di tengah jalan raya. Papan-papan reklame bengkok, putus asa menunggu nasib akan kehancurannya. Kala itu, aku dengan anehnya memutuskan untuk melihat suasana indah itu di balkon. Entah setan apa yang riang gembira menggandeng tanganku saat itu hingga aku bisa terjebak dalam kebodohan yang mendamaikan.

Adalah hal yang luar biasa ketika sesaat sebelumnya suasana begitu tenang dan tentram. Lalu tanpa adanya aba-aba peringatan, semuanya berubah 180 derajat, bahkan sebelum engkau sempat untuk mengedipkan mata. Rintik-rintik gerimis yang menjatuhkan diri mereka suka rela menghujam kepada genting dan menghasilkan bunyi melodis, bertransformasi menjadi ganas bak anjing gila yang tersesat tak tahu arah jalan pulang. Menampar seluruh pori-poriku yang tak mampu bersembunyi di balik sebalut kain, berlaku semena-mena bagai peluru yang menyambuk beramai-ramai menyiksa mangsanya. Semua karena angin yang berhembus perlahan merubah perangainya. Ia menari dengan liar dan ganasnya, seperti jago merah yang melahap lapar semua pemukiman rapat di kota terkutuk ini.

Kala itu, untuk membuka salah satu kelopak mata saja sulit. Namun aku tetap berdiri, dengan suhu tubuh yang semakin menurun. Gigi-gigi geraham mendecak penuh nafsu. Jemari mulai mengkerut dengan penuh kecut. Sekarang situasinya hampir sama dengan saat itu, cuma berbeda sedikit saja, hanya lebih lama, dan lebih sedikit berbahaya.

Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Bagaimana nasib para kelelawar nakal yang sedang mengembangkan sayap petualangan mereka dalam menghadapi situasi malam hari ini? Bagaimana nasib sarang semut yang ada di halaman belakang rumahku? Dan berjuta macam pertanyaan lain. Hingga pada akhirnya, sebuah pertanyaan lama yang sangat sakral kembali muncul untuk menghantui imajinasi. Pertanyaan yang dari dahulu menampakkan wujudnya di tiap-tiap kesempatan kritis seperti ini. Pertanyaan yang menetapkan bentuknya --- kalimatnya hanya itu-itu saja, kata penyusunnya juga hanya itu-itu saja --- tidak pernah mau mengubah sedikitpun wujudnya. Namun jawabanku, seiring dengan roda jaman yang memacu laju, selalu berubah dan beradaptasi tergantung pada kondisi. Pertanyaan itu adalah: "Mengapa hujan turun tidak merata?"

Untuk saat ini, sang jawaban memilih jalan cepat dan singkat. Hujan memang tidak pernah turun merata karena itulah keadilan yang sejati. Hukum alam yang paling murni, keadilan pertama yang tercipta di bumi. Sampai kapan pun, rintik-rintik hujan itu akan terus menenggelamkan koloni semut yang bernasib sial. Membasahi sayap-sayap kelelawar yang murung hingga patah. Menghanyutkan pikiran dan logika.

Tetapi tenang saja, di dalam sini masih belum berubah. Hatiku masih hangat, jiwaku masih menyala. Mataku masih berbinar, menanti mentari untuk --- semoga saja --- bangun sekali lagi dari Timur. Dan hujan ini masih setia berperang melawan keinginanku.

Sayang sekali wahai sang hujan. Malam ini aku tidak mengalah. Api abadi bukan hanya sekedar julukan. Biar waktu yang menjawab semuanya. Asal jangan ia meniup hingga padam dan tersenyum lalu bilang bahwa semuanya telah selesai.