Masih Dalam Proses


Mohon maaf karena sudah lama sekali tidak menambah tulisan disini, bukan berarti bahwa aku berhenti menulis. Aku cuma merasa malu karena ternyata tulisan-tulisanku jauh dari apa yang bisa dibilang sebagai sesuatu yang “indah” dan “menginspirasi”. Rasanya aku memang butuh belajar lebih banyak lagi, untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik lagi. Harus lebih matang lagi dan menjadi pribadi yang murni sehingga tercermin dalam setiap tulisan-tulisan yang aku buat memuat serpihan jiwaku ini. Karena esensi utama dalam setiap karya adalah kejujuran.

Dibawah ini adalah tulisan-tulisan yang bisa dibilang “masih dalam proses” karena aku sendiri menganggap ini karya yang belum selesai (kalau boleh dibilang sebagai karya – bukan sebagai cuap tanpa makna). Aku juga masih rajin menulis beberapa cerita pendek namun mohon beribu-ribu maaf karena tak bisa aku tampilkan disini, cerita-cerita tersebut masih jauh dari selesai (bentuknya berupa potongan-potongan yang belum utuh menyatu – jadi aku malu dan merasa penuh “sok bijak” untuk tidak memunculkannya di tempat ini). Oleh karena itu aku berharap para pengunjung setia mampu bersabar dan tetap mendukung aku yang masih lemah dan jauh dari kepiawaian dunia pena. Mari kita sama-sama berjuang menggapai mimpi dan cita-cita kita. Semoga Yang Maha Kuasa merestui dan memudahkan jalan kita, amin.

Aku harap para pembaca menikmatinya seperti aku menikmatinya ketika membuat tulisan-tulisan ini.

---

ada tiada


dengan ada
dan tiada
aku berada
di antara

akulah kara
yang menghamba
bersama bahagia
dan juga duka

hidup penuh bara
mati tanpa cita
keduanya sama
cantik memesona

sampai getar terakhir nyawa
kembali penuh pada segala

---

bara


akulah sebatang kara
yang mengapung di lepas samudra

kan ku genggam terus bara
hingga nafas renta
dan jiwa terbebas jera

---

boneka


kita semua hanyalah boneka
yang pura-pura memegang kendali

sebuah boneka yang tak tahu arah jalan pulang
yang mencoba untuk tersenyum dan tak menangis
(aih, boneka mana yang bisa begitu?)

apalah artinya bagi sebuah boneka
untuk berbagi kebahagiaan
ataupun menanggung kesedihan bersama

kita semua hanyalah boneka
yang pura-pura mengerti akan segalanya

---


cita


kepada duka
aku datang menyapa
dengan senyum bahagia

dahulu kala
menggantung cita
tinggi di angkasa

namun hidup sekarang merana
laksana dihujam berjuta laksa

apa daya nasib jua
yang membawa segala
kembali ke dasar samudra

ah, tak mengapa
tak ada sesal manja
tak ada misuh cela

yang penting masih punya
sebuah jiwa yang setia
berenang bebas dalam semesta

aku tertawa
bersama duka

---

dicari


kecut nyali
memotong nadi

harga diri
tertimbun tahi

ketika nurani
berbicara sunyi

apalagi
yang akan dicari?

---

dilema


peluk peluk memeluk peluk
cium cium mencium cium
kedip kedip berkedip-kedip
sayang sayang menyayang sayang

dilema demi dilema
janji janji kian menjanji
korban-korban berkorbanan
cinta mati, mati cinta

rindu serindu-rindunya rindu dalam rindu

---

fana


matahari hari ini
tidak sama dengan matahari kemarin

aku tidak tahu apakah besok matahari akan terbit lagi

tidak ada yang pasti
tidak ada jaminan asuransi

juga dengan segala-segala asumsi-asumsi fana

---

gairah jawara


huru hara
dalam penjara

karena ada
seekor mangsa

tampang tak nelangsa
ksatria gairah jawara

tapi mengapa
maut tak kunjung menyapa

padahal senantiasa
bermandikan dosa

ia menjual gratis dirinya
mendapat imbalan amanat kuasa

dan para singa
hanya gagap menganga

dan para buaya
dibuat diam seketika

dan ular sanca
dipaksa mati melilit kobra

(“kemana perginya sang cicak muda?” – begitu katamu,
“sudah mati kekeringan darah dihisap nyonya nyamuk” – tenang jawabku)

huru hara
dalam penjara

karena ada
pergantian sang raja

semua terpesona
oleh bujuk rayunya

padahal sebenarnya
tetaplah sama

ia hanya
seekor tikus biasa
yang berpura-pura

---

hadiah terakhir


aku hujamkan duri-duri mawar itu
pada sebuah mayat yang masih hangat
itulah hadiah terakhir untukmu
agar hilang segala penat

ketika tawa takdir terlibat
dan nasib tersunat
yang tersisa hanya karat
yang pekat
dan membejat

inilah wasiat
dari seorang laknat
dalam keadaan sekarat

---




hilang hitungan


satu hari satu bait
satu tahun hilang hitungan
nasib-nasib terkait
takdir bergelimpangan

kekalahan perjuangan
dunia kekurangan

mereka bilang
hasil dari perang
hanya satu pemenang

mereka juga berkata
yang kuat yang berkuasa
tindas lemah nestapa

lalu lalu lalu
masa demi masa
lalu lalu lalu
manusia tetap manusia

yang maha bijaksana bersabda
mereka menutup mata
melipat telinga
hati mereka entah pergi kemana

lalu lalu lalu
masa demi masa
lalu... manusia
tetap saja...
manusia

---

kasih


aku kasihan kepada para
wanita yang berparas indah jelita

adakah pria
yang melihat melewati pintu karismanya?

aku kasihan kepada para
perempuan yang ceria bahagia

adakah pria
yang berhasil menjadi jawara
menembus segala perangkapnya?

para hawa merdeka
bermain tanpa angkara
menanam murka dimana-mana

dibalik mahkotanya,
seberapa tajamkah duri-duri yang disembunyikannya?
dibalik harumnya,
seberapa amis bangkai yang telah dikuburnya?
dibalik manisnya,
seberapa mematikan racun yang dimilikinya?

aku kasihan kepada mereka
yang hidup berkawan skema
cantik penuh luka

ataukah aku yang harus dikasihani?
karena sudah berjuta kali
jatuh hati, lagi dan lagi dan lagi
pada insan yang tak murni

---

korup


yang paling kaya
malah merasa penuh kemiskinan

yang paling beruntung
malah merasa penuh kesialan

yang paling hamba
malah merasa paling berkuasa

mau dibawa kemana lagi?

korupsi jauh lebih berbahaya
daripada ganjaran derita narkoba

dan koruptor lebih baik mati
sebelum lahir kembali di bumi pertiwi

amin

---
manis


memang pantas ia dijuluki manis
karena rasanya memang manis

sampai lidahku menjadi kelu
dan hatiku penuh pilu

aih, nafsu dan cinta
asap dan api dunia
sampai kapan akan menyala?
tak ada sekam yang tersisa

---

nafsu sedap


kemarin muncul api tanpa asap
bersama binatang bernama biadap
kenangan segala perangai sedap

hari ini cahaya datang
membawaku pulang
tiada lagi tualang

esok, aku tak tahu lagi
apa yang akan terjadi
nanti…

---

namamu


satu hari satu biji
mengenal sang ilahi

99 hari berlalu
kita merasa paling tahu

manusia

---




pada malam


pada malam
datang aku menyapa
sepi kerlip esa semesta

pada malam
cium aku gairah kini
lembut mendung menyelimuti

pada malam
duduk aku sunyi
mematung berdiam sendiri

pada malam
sigap aku cengkrama bagi
mengisi cawan kembali murni

pada malam
peluk aku sejati
setia memanggil refleksi

---

pamit


aku mohon pamit
untuk pergi mendaki
sebuah gunung tinggi nan terjal
dengan batu-batu runcingnya

aku meninggalkan jalan
yang mulus beraspal
dengan garis putih
putus-putus di tengahnya

aku tak tahu kapan aku kembali
aku pun tak tahu kapan aku berpijak di tuju puncak

aku hanya pergi
mencari yang sejati
dengan penuh rindu dan serah diri
murni lagi sendiri

---


pangkuan


menghujam bumi
menatap mentari
sendiri mencari
nur ilahi

aku rindu
kembali ke pangkuan-Mu
wahai segala pencipta ibu

---

pertanyaan


apa itu apa?
mengapa ada mengapa?
bagaimana bisa bagaimana?
siapakah siapa?

pertanyaan
demi pertanyaan

akankah semua memiliki jawaban?

---

puas birahi


99 kepala ikan sudah kulibas
100 buntuk cicak telah kuputus
101 anjing selesai kutumpas

namun mengapa
puas birahi belum terpenuhi?
yang harus kulakukan apalagi?

masih terperangkap
dalam pelukan kasih
dingin bunda pertiwi

berenang melawan arus
menantang maut

aku ingin bebas
dan berdiri tegap

---

sang gembala


biarkanlah para domba
merumput di pinggir jurang nista
bersama kawanan yang setia

dan biarkan pula sang gembala
tersenyum bahagia
terlena dalam mimpi siang bolongnya

sungai merah penuh kara
gelembung riak menari indahnya
yang tinggal hanya
titik didih nestapa

tak perlu ada serigala

---

sejoli


kita berdua
memang serupa
namun kita
tetap tak sama

aku
merompak bunga
dan kamu
mengisap dara

pada akhirnya
gen etika
yang berbicara

---

semua kembali


seumur hidupku aku pergi
bertualang kesana-kemari
tetap terus mencari
seekor gagak putih yang kabur berlari
dari pelukan kokoh teralis besi

terkadang aku pun bermimpi
bahwa sang mentari
tak akan muncul lagi
membawa cerah esok pagi

lalu segala khayalan lain datang membuai
menggoda jiwa yang dilanda sepi

hingga lonceng terakhir berbunyi
dengan nada-nada yang kosong nan sunyi

ketika semua kembali
menjadi satu yang sejati

---

tak pandai


aku tak pandai merangkai kata
yang penuh metafora-metafora
dengan segala misteri makna

aku juga tak mahir berpuisi
mengutarakan dalam-dalam isi
dari hati yang penuh sepi

aku hanya ingin berbicara sendiri
berharap agar telinga mau mengerti
dan cawan hati penuh lagi terisi

makan ijinkanlah aku melontarkan bait-bait ini:

apalah arti dari bahasa
ketika simbol dan angka
yang mulai perkasa berbicara

apalah nilai sebuah insan suci
ketika realita mulai meracuni
dengan benih-benih birahi
dan juga manisnya ilusi

tetapi aku tetap setia dan percaya
pada jalan curam sejarah manusia
secuil rencana besar Yang Maha Kuasa

kelak pada suatu masa
akan datang damai dan sejahtera
kepada semua secara merata

ketika segala
sepakat akan rasa
yang dikenal sama
di seluruh dunia

itulah cinta
itulah surga
itulah utopia
itulah akhir yang bahagia

---

ternyata bukan


kukira bulan, ternyata bukan

dia lambai menawan
goda manis senyum rupawan
ajak main tebar tebakan

sendiri aku mawas jumawa
diam-diam meragu waspada
takut laga berlugu akan siaga

kukira bulan, ternyata bukan

senja datang pelan-pelan
lalu takdir pisah di atas jembatan
semua akan menjadi kesan
tak perlu lagi ada jawaban

---

tidur


aku hanya ingin tidur selamanya dalam surga
dininabobokan oleh para bidadari dengan suara empuk mereka

bukan terjebak bodoh dalam planet biru yang fana

sayang aku pengecut raga,
tak berani memutus nafas maupun nadi juga

karena aku takut akan hangatnya pelukan iblis penuh gairah nanti di neraka

begitulah apa adanya

---




Yang Maha Atas


seluruh inderanya kebas
akhirnya meregang nafas
jiwanya telah lepas, bebas

kembali kepada Yang Maha Atas

---

Truth

the truth i love
is the one that i never know

the truth i care
is the one that i never have

then why it plays such devious trick?
from something majestic
too something maverick
making me feel like a prick
getting fooled by popular magic

so if i have one chance to meet it
thus i will gladly interrogate:
how are you today?

Teka Teki Untuk Para (Calon) Pengusaha #1

Sudah 7 tahun aku pakai baju yang ini terus, aku bosan. Aku memutuskan untuk pergi melihat-lihat ke sebuah toko baju. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku menaksir sebuah baju yang seharga Rp.85.000. Tapi aku sedang tidak punya uang. Aku pun pulang dengan sedih.

Sesampainya di rumah aku memberanikan diri untuk mencari uang. Maka aku datang ke Ayah dan Ibu untuk meminjam uang. Ayah memberikan aku uang Rp.50.000, dan Ibu juga memberikan aku uang Rp.50.000. Totalnya adalah sepasang Ngurah Rai dalam dompetku.

Kemudian aku langsung tancap gas dan pergi ke toko tadi dan membeli baju yang aku taksir dengan uang pinjaman dari Ayah dan Ibu. Setelah transaksi terjadi, aku mendapat kembalian uang sebesar Rp.15.000. Aku bahagia dan pulang ke rumah.

Sisa uang tersebut aku kembalikan ke Ayah Rp.5000. Aku juga mengembalikan Rp.5000 ke Ibu. Sedangkan Rp.5000 sisa kembaliannya aku simpan untuk diriku sendiri.

Jadi sekarang aku berhutang ke Ayah sebesar Rp.45.000. Juga berhutang ke Ibu sebesar Rp.45.000. Uang di dompetku Rp.5000. Totalnya adalah Rp.95.000. Kemana hilangnya Rp.5000 yang lain?

Kemana? Kemana? Kemana?

1/4 Abad

Waktu terus mengejar kita, tapi kita yang senantiasa melupakannya. Jikalau umur rata-rata manusia modern adalah 100 tahun tentu ini hanya seporsi kecil yang tak akan menjadi masalah. Apakah ini takdir oleh setiap mahluk di dunia ini? Senatiasa lengah hingga malaikat kematian mengetuk ramah pintu jiwa kita nanti, entah 50 tahun mendatang, atau esok hari. Semoga saja kita semua beruntung.

Kalau diingat-ingat, sudah lama sekali hidup, sekaligus terasa baru saja kemarin segalanya terjadi. Tapi kebanyakan cuma habis di dalam institusi pendidikan, duduk di kelas, menghadap papan tulis, belajar, dapat nilai, lulus, lalu diulang lagi dan lagi. Apa ini esensi yang paling utama untuk menjadi manusia? Apa ini yang menjadi syarat prioritas untuk dapat berfungsi dalam sebuah peradaban? Pengolahan otak dan cara berpikir serta segala perilaku yang mengikuti kedua pondasi tersebut. Lalu kenapa masih banyak di luar sana yang berpendidikan tinggi namun melakukan hal-hal irrasional. Apakah pada kenyataannya pendidikan dan gelar tidak berbanding lurus dengan pengolahan otak dan cara berpikir. Belum lagi kalau faktor yang bernama "cinta" ikut berperan. Rasanya otak tak berdaya melawan hormon yang menyesatkan. Nafsu-nafsu manis yang berbuah dosa dalam setiap nafas kita. Kalau begini tak heran bahwa banyak sekali yang kehilangan arah dan lupa akan tujuan hidupnya.

Lalu apa itu sebuah tujuan hidup? Aih, jawabannya benar-benar sesuai dengan apa yang ada di nurani masing-masing, mencontek pun rasanya percuma. Waktu kecil dahulu, aku selalu ingat betul bahwa cita-citaku bukan menjadi pilot, bukan presiden, bukan dokter, bukan pengacara, bukan arsitek, tetapi menjadi seseorang yang akan dipanggil "bos". Kemudian masa berganti, jaman beralih, namun cita-citaku tetap sama, jadi "bos". Meskipun terkadang aku dipanggil bos, baik oleh teman-teman yang telah aku traktir maupun para tukang parkir - ketika memberi upah atas jasa palsu mereka untuk menjaga kendaraan milik kita. Kok, rasanya hidup begitu mudahnya? Apa benar itu yang dinamakan menjadi bos? Ternyata itu semua hanyalah bukanlah apa-apa, belum mencapai esensi murninya. Belum memahami lebih dalam lagi. Masih perlu banyak belajar lagi.

Tujuan hidupku cuma satu. Aku ingin menjadi kuat. Dari kecil aku selalu ingin jadi kuat, kalau bisa melebihi siapapun. Namun sayang, badan tidak bisa berotot karena malas mengangkat beban berat. Pintar pun juga rasanya bukan karena tidak pernah menjadi juara olimpiade matematika, bahkan berhitung sekarang lebih suka menggunakan kalkultor. Lalu kuat itu apa? Kalau dilihat dari perjalanan hidupku yang cepat dan masih (semoga tidak) pendek ini, sepertinya boleh dibilang aku semakin lama semakin kuat. Karena waktu kecil dahulu aku takut dengan banyak hal. Beberapa ketakutan yang masih kuingat adalah:

1. Takut dengan rumput.
Ya, rumput. Tumbuhan kecil yang menjadi pujaan di lapangan sepak bola. Bukan ilalang yang tinggi-tinggi. Karena pertama kali aku dengan kesadaran sendiri, telanjang kaki menginjak rumput dan merasa tertusuk waktu kecil dan mendapat hadiah berupa rasa geli yang mencuri segenap tenaga yang ada. Hingga awal sekolah dasar baru akhirnya ketakutan itu hilang. Entah mengapa. Aku lupa bagaimana cara melampauinya. Yang jelas begitu rasa takut itu hilang, siapa sangka aku malah mengikuti ekskul sepak bola dan berposisi menjadi penyerang. Malah sekarang aku benar-benar cinta akan rumput. Rasanya melihat mereka begitu mengilhami akan bagaimana sebuah organisme mampu tetap gigih untuk bertahan hidup meskipun diinjak berjuta-juta kali, bahkan terkadang mampu untuk berbunga.

2. Takut dengan bunyi gerobak penjual kue putu.
Ini parah sekali kalau diingat-ingat ketakutan ini bukan bersumber dari diriku sendiri. Tapi karena pembantu rumah tangga waktu aku kecil dahulu - yang pura-puranya mengasuh diriku padahal kerjanya cuma mengobrol dan menggosip - merasa paling malas dan rusuh kalau aku sudah bawel, dan itu biasanya terjadi di sore hari tepat disaat penjual kue putu lewat depan rumah. Alhasil ada kalimat yang masih aku ingat hingga sekarang: "Diem dong, nanti diambil ama jin. Itu udah ada bunyi-bunyinya." Lalu bagaimana cara aku melampaui ketakutan ini? Kalau tidak ada malaikat penolong mungkin nasibku akan sama seperti pemain utama film The Raid yang takut dengan kerupuk, malaikat itu adalah ibundaku tercinta. Begitu beliau mengetahui kalau aku takut dengan bunyi-bunyian "nguuuung nguuuung nguuuuuuung" sialan itu, Mama langsung membawaku dan membelikan kue putu, ternyata rasa kue putu enak, manis. Sayang jalur karir pembantu rumah tanggaku yang itu tidak semanis kue yang aku makan sore itu.

3. Takut dengan air panas.
Kalau yang ini lebih ke trauma tepatnya. Waktu kecil, sekujur tubuhku pernah tersiram air mendidih dan alhasil sukses masuk ICU untuk beberapa bulan. Kira-kira umurku waktu itu baru 3 tahun. Lagi-lagi ini salah pembantu rumah tangga yang bisa-bisanya menuang air mendidih ke badanku, bukannya ke bak mandi. Harap dicatat bahwa oknum disini berbeda dengan oknum sebelumnya. Sayangnya sang oknum tersebut terkena amarah ayahanda yang mendidih, alhasil jalur karirnya pun sudah dipastikan kandas, lebih buruk dari bekas luka di sekujur tubuhku ini. Sungguh sangat tolol. Semenjak saat itu aku takut dengan air panas, lebih baik minum apa-apa yang dingin. Kalau wedang jahe bisa pakai es dan tidak dipaksa eyangku untuk mencoba hangat-hangat - panas lebih tepatnya - mungkin akan aku lakukan saat itu, tapi berhubung aku menghormati orang tua jadi tak bisa melawan. Mungkin hal itu juga yang akhirnya pelan-pelan menghilangkan traumaku. Ironis memang, harus dipaksa ternyata. Baru sekitar masuk sekolah menengah atas aku berani kembali memasak air dan memegang ceret. Semoga eyang di dunia sana beristirahat dengan tenang dan membaca tulisan ini dengan penuh senyum.

4. Takut dengan kegelapan.
Bukan gelap hati, gelap mata, gelap jiwa. Meskipun ketiga yang aku sebutkan tadi juga benar-benar menakutkan, bahkan setelah menulis ketiga itu tadi kok rasanya jauh lebih menakutkan lagi ya. Tapi yang dimaksud disini adalah kegelapan, tanpa cahaya, secara harfiah. Siapa sih yang tidak takut sama gelap waktu kecil? Main game Silent Hill dan Fatal Frame saja lebih enak kalau tidak sendirian. Begitu pula dengan menonton The Ring atau Ju-On, jangan harap untuk menatap layar sendiri kemudian mematikan lampu, cih! Tetapi terakhir kali, Paranormal Activity berhasil membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku melampaui ketakutan ini kalau tidak salah waktu kelas 3 SD terjadi mati lampu dan aku masih belum bisa tidur. Aku masih ingat betul tidur di kasur atas (menggunakan tempat tidur tingkat), rasanya waktu itu setiap mengintip ke jendela seperti ada sesuatu yang menatap balik. Akhirnya aku lebih memilih menatap langit-langit kamar kemudian kelelahan dan tertidur. Ternyata sama saja dengan menutup mata, otakku beradaptasi dengan baik.

5. Takut dengan tikus.
Sumpah, yang ini sebenarnya sampai sekarang masih menakutkan. Siapa sih yang tidak takut dengan binatang menjijikkan ini? Mau yang datang malam hari diam-diam mencuri sisa makanan di tong sampah maupun yang sedang ketiduran dengan nyenyaknya di gedung terhormat. Cuma perbedaannya kalau waktu kecil dulu aku tidak berkutik, sekarang minimal bisa melakukan perlawanan balik, naik ke atas kursi atau meja, atau memukul dengan "senjata" terdekat yang mampu diraih tangan. Atau bersabar esok harinya dan memasang racun tikus dan berdoa bahwa mereka semua cukup rakus dan bodoh untuk menghabiskannya. Karena perangkap kurungan besi ataupun lem tidak cocok untukku, melihat batang hidung mereka saja sudah membuat perutku komat-kamit. Lebih baik memberi hidangan terakhir kepada mereka dan biar tetangga berbeda kelurahan yang akan mengurusi bangkainya. Ingin rasanya memelihara ular. Tapi di rumahku yang ada hanya cicak. Ingin pula aku memelihara buaya. Namun keduanya adalah musuh berat "kanjeng ratu", aku pasti tidak dianggap anak kalau ketahuan memelihara kedua spesies itu. Karena bos besar - my father - pernah ingin memelihara reptil-reptil itu tetapi mendapat hadiah ancaman perceraian dari belahan jiwanya. Alhasil kami semua tidak berkutik, dan sampai sekarang perang melawan tikus-tikus itu belum selesai.

Sebenarnya masih banyak ketakutan-ketakutan lain yang saking menakutkannya aku sampai melupakannya, atau setidaknya pura-pura lupa. Dua setengah dekade ini kalau dilihat ke belakang rasanya aku sudah tumbuh dengan cukup. Tapi aku masih merasa belum kuat. Apa sih rasanya menjadi kuat itu? Maklum, aku bukan Usain Bolt yang bisa main kucing-kucingan dengan cheetah. Aku juga bukan Lee Changho yang dengan langkah-langkah sederhana dan hitungan yang tepat sehingga mampu menikam para lawannya. Aku juga bukan Mike Tyson karena aku tidak pernah memelihara burung merpati. Aku tidak dirasuki oleh rubah ekor sembilan dan belum belajar Rasengan, aku juga belum memakan buah iblis, serta zanpakuto rasanya tidak begitu berharga lagi sekarang. Aku belum pernah digigit laba-laba rekayasa genetik, aku belum pernah terkena radiasi gamma, aku tidak kenal dengan Alfred, aku juga belum mampu membuat Jarvis, setidaknya aku bermimpi untuk mengencani Diana, aih... jadi melantur, maafkan kebiasaan lamaku ini. Bagaimana ya caranya agar menjadi kuat? Biar waktu yang menjawabnya. Aku juga belum menyerah untuk menjadi "bos", menjadi tuan atas diriku sendiri, tidak ada kaitannya dengan orang lain, bukan julukan "bos"-nya yang aku cari.

Untuk saat ini aku sedang menghadapi tembok besar, tinggal bagaimana cara melampauinya. Caranya itu yang belum aku tahu. Karena ini tembok yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Aku harus lebih rajin lagi untuk mencari. Untungnya aku percaya bahwa dalam setiap kesulitan akan ada 2 kemudahan sebagai gantinya. Dan dibalik setiap ketakutan ada kekuatan yang siap untuk kita renggut. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Selama masih dipercaya dan dititipkan nafas ini aku hanya bisa berusaha sebaik-baiknya. Jadi teringat sebuah kalimat bagus yang pernah muncul di benak pikiranku dahulu kala, yang sesuai tema ini:
"Apa yang membuat para pelari marathon bisa mencapai garis finish?"
"Tentu saja karena mereka terus berlatih." (Setidaknya inilah jawabanku satu setengah dekade silam, ya, karena aku masih muda dan lugu.)

Tetapi kalimat pertanyaan dan jawabannya akan aku ganti untuk sekarang dan selanjutnya, bunyi barunya adalah:
"Apa yang membuat para pelari marathon mampu mencapai garis finish?"
"Karena mereka tidak berhenti melangkah... karena mereka tidak pernah berhenti melangkah."

Terima kasih karena anda cukup kuat untuk membaca tulisanku hingga paragraf ini. Aku berikan penghargaan yang paling dalam dari lubuk hatiku untuk anda. Kemudian perbolehkan aku untuk bertanya:
"Apa tujuan hidup anda?"
"Apakah anda sudah merasa kuat?"

Akhirnya aku tutup saja tulisan ini dengan sebuah doa, karena aku tahu aku masih lemah dan tak berdaya di hadapan rencana besar Sang Pencipta. Terima kasih kepada Yang Maha Segalanya, atas semua pengalaman ini, dan berikanlah aku lebih banyak kesulitan lagi yang dengan seizin-Mu nanti aku akan mampu melampauinya. Amin.

Lolongan Iblis

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam

Mengarungi nafas bahtera
Dipandu bintang sejahtera
Bermandikan darah penyihir senja

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam

Menari riang sendu sedan
Tersesat dalam lembah kematian
Ditemani kawanan domba kurban

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam

Asap dupa merasuk sukma
Wangi menyan semerbak mahkota
Peluh dingin merayap mesra

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam

Bernyanyi simponi gila
Menggapai harmoni nestapa
Mengembik dikebiri bahagia

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam

Aih! Untung masih ada kawan
Diikat nasib yang menawan
Terpaksa menjadi relawan

Bersama lolongan iblis bersenggama
Yang meraung, yang menggema
Yang membahana dalam
Hati mungil bersemayam



Bersiul indah nada jenaka
Setia menunggu iba tiba
(Sayangnya, aku sang serigala.)

Untuk Apa Kita Hidup?

Beberapa hari yang lalu, di sela-sela kesibukanku, aku menyempatkan diri membuka situs jejaring sosial yang mulai turun pamor. Dalam situs itu, aku dengan isengnya --- secara tidak sengaja --- membaca tulisan (baca: notes) dari salah seorang teman di kampusku, yang notabene cukup memiliki pengaruh di lingkungan sekitarnya. Tulisan itu cukup menarik dan aku sempat membacanya hingga tuntas. Lumayan lah untuk membunuh waktu, bukankah itu yang kita lakukan selama ini baik secara sadar maupun tidak sadar? Catatan itu pada akhirnya menimbulkan semua pertanyaan bagi para pembacanya. Pertanyaan yang cukup familiar bagi seluruh anak cucu Adam. Pertanyaan menawan --- yang bisa aku jamin secara pasti pernah muncul satu kali dalam pikiran kalian masing-masing --- untuk kita renungkan bersama-sama. Pertanyaan itu adalah: "Untuk apa kita hidup?"

Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Pertanyaan yang paling esensial bagi kita semua yang mengaku memiliki akal pikiran. Pertanyaan yang bisa muncul hanya sekali, dan jika beruntung langsung akan mendapatkan jawabannyam dan jika sial tidak bisa menjawabnya... silahkan berdoa lebih banyak lagi, niscaya pertanyaan itu akan menghantui sampai jawabannya ditemukan. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dalam diskusi kecil itu. Seperti biasa, aku menjawab dengan praktis dan penuh logika. Jawabanku adalah: "Untuk mati."

Sungguh, bukan itu bagian serunya. Yang bisa kita nikmati adalah membaca satu demi satu, secara perlahan, jawaban peserta diskusi kecil itu. Tentu saja setiap orang berhak dan bertanggung jawab atas respon mereka masing-masing terhadap tulisan itu. Ada yang menjawab sesuai kitab suci kepercayaannya, ada yang menjawab secara normatif, ada yang menjawab secara humoris dan --- seperti biasa --- ada yang menjawab mengikuti jawaban orang lain. Aku rasa semua jawabannya benar, karena hidup adalah milik kita masing-masing.

Mengapa aku menjawab demikian sederhana? Hanya karena itu adalah fakta. Bukankah seluruh mahluk yang bernyawa, cepat atau lambat, pasti akan kembali kepada semesta. Jangankan mahluk hidup, nyala api lilin kecil saja dapat hilang sekejap dengan tiupan lembut, aliran sungai bisa berhenti apabila kita menginginkannya (tanpa mendahulukan Yang Maha Kuasa) dengan membuat dam atau bangunan penghambat lainnya, angin dapat terperangkap bosan --- berputar-putar dalam tempat yang sama --- apabila terjebak dalam balon karet yang jikalau ditusuk sebuah jarum kecil akan berangsur menjadi sia-sia. Ya, kita hidup untuk mati. Tidak lebih, tidak kurang.

Lalu setelah mati, apa yang akan terjadi? Aku sendiri tidak tahu, karena aku belum pernah mengalaminya dan masih sempat membuat tulisan ini. Kalau pun aku pernah mengalaminya, apa yang bisa menjamin aku akan kembali dan menceritakan itu semua kepada kalian semua? Harapan kosong, karena lebih baik aku simpan untuk diriku sendiri pengalaman itu, karena aku manusia --- bukan karena aku pernah mengalaminya. Tentu saja, sesuai dengan kepercayaanku, hidup setelah mati itu ada dan benar. Dan sebelum itu diwajibkan menunggu dalam liang kubur di sebuah alam terpisah lalu menunggu hari akhir dan pembalasan. Tetapi seperti yang kita ketahui, kita semua adalah bangsa negara kesatuan republik yang kita cintai, ya kan? Oleh karena itu aku menulis dalam bahasa ibu pertiwi --- kecuali tulisan ini menjadi terkenal dan diterjemahkan dalam bahasa lain. Aku tentu saja tidak bisa memaksakan apa yang aku yakini dan aku percayai dengan segenap hati kepada orang lain yang berbeda sudut pandang dalam menjalani hidupnya. Oleh karena itu, aku tidak bisa melanjutkan dialog itu dari sisi keyakinan. Sehingga untuk melanjutkan jawaban itu, aku memilih jalan logika. Untuk apa kita hidup? Untuk mati. Demikianlah apa adanya, lagi-lagi ini adalah fakta murni dan belum ada orang yang kembali dari kematian --- setidaknya hingga yang aku kenal secara pribadi sampai saat ini.

Untuk mati. Itulah kata kuncinya. Perbedaan keyakinan tidak akan membuatmu bisa menghidarinya. Cepat atau lambat, ia akan mengetuk tiba-tiba dan berkunjung mendadak di pintu milikmu. Lalu? Ya, setelah engkau mati apa yang terjadi? Engkau menjadi mayat. Merepotkan orang lain. Segala sesuatu diurus oleh orang lain. Mulai dari mandi hingga memakai pakaian terakhirmu. Apa yang bisa engkau bawa dengan kematian? Salah satu etnis mempercayai bahwa mengubur harta benda milik sang mayat akan membantunya nanti di alam setelah ia mati. Aku skeptis. Paling-paling hanya akan membantu maling kuburan agar kelurganya bisa makan untuk sementara waktu. Toh, bukankah lebih baik agar harta benda itu digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat?

Apa yang dibawa setelah kematian datang kepada kita masing-masing? Apakah nama baik? Ya, tentu saja apabila engkau hidup selalu dalam kebaikan dan tidak pernah berlinang dalam dosa, tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Mungkinkah?

Jadi, apa yang akan kita bawa setelah kematian datang? Jawabannya: tidak ada. Secara logis. Bahkan pakaian terakhir itu sebenarnya tidak diperlukan. Bangkai mana yang butuh untuk menutup bagian-bagian pribadinya? Toh dia sudah mati, sudah tidak bisa apa-apa lagi.

Lalu, apa yang tersisa?



Misteri.



Kita tidak akan tahu sampai kita mengalaminya. Tentu saja kita sudah diberikan petunjuk sesuai kepercayaan masing-masing --- semoga saja itu benar --- dan tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ingatlah, hidup ini hanya sekali. Bukan seperti permainan yang bisa di save lalu kita load disaat kita game over karena kebodohan kita sendiri dalam memainkannya. Ah! Jadi banyak omong begini. Maafkan. Kalau begitu, aku tutup saja tulisan ini dengan salah satu potongan dari lagu Nicky Astria: "Dunia ini, adalah panggung sandiwara."

Sekian.



Bohong! Hehehe, kalau dunia ini adalah panggung sandiwara... apa yang membuatmu yakin bahwa sang sutradara menyukai lakonmu dalam karyanya? Bahkan apa yang membuatmu yakin bahwa sang sutradara tidak sedang bermain-main untuk mengisi waktu luangnya karena bosan akan kesepian sehingga menciptakan pentas ini semua?

Selamat Pagi

Sekarang para bintang dan bulan sedang bersembunyi. Di luar sana begitu kelam dan dingin. Aku di sini hanya berdiri menatap lewat jendela namun yang terlihat hanyalah bayanganku sendiri dengan raut muka yang samar, aku memeluk kegelapan.

Sungguh menakjubkan ketika malam bisa membuat kita berubah sesaat. Ia bisa menyulap dengan pandainya, tak seperti waktu yang berjalan santai kemudian menepuk pundak kita dari belakang dan mengatakan semuanya sudah terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Hujan yang begitu derasnya membuat semua anak Adam semakin melindungi kewarasan mereka sendiri dibalik selimut hangatnya masing-masing. Ya, malam ini langit meneteskan air matanya tanpa henti, membasahi bunda bumi yang perlahan-lahan mendekati kematian.

Suatu ketika pernah terjadi badai besari di Ibukota. Pohon-pohon besar nan perkasa tumbang penuh malu. Kotoran-kotoran muncul, berenang bebas di tengah jalan raya. Papan-papan reklame bengkok, putus asa menunggu nasib akan kehancurannya. Kala itu, aku dengan anehnya memutuskan untuk melihat suasana indah itu di balkon. Entah setan apa yang riang gembira menggandeng tanganku saat itu hingga aku bisa terjebak dalam kebodohan yang mendamaikan.

Adalah hal yang luar biasa ketika sesaat sebelumnya suasana begitu tenang dan tentram. Lalu tanpa adanya aba-aba peringatan, semuanya berubah 180 derajat, bahkan sebelum engkau sempat untuk mengedipkan mata. Rintik-rintik gerimis yang menjatuhkan diri mereka suka rela menghujam kepada genting dan menghasilkan bunyi melodis, bertransformasi menjadi ganas bak anjing gila yang tersesat tak tahu arah jalan pulang. Menampar seluruh pori-poriku yang tak mampu bersembunyi di balik sebalut kain, berlaku semena-mena bagai peluru yang menyambuk beramai-ramai menyiksa mangsanya. Semua karena angin yang berhembus perlahan merubah perangainya. Ia menari dengan liar dan ganasnya, seperti jago merah yang melahap lapar semua pemukiman rapat di kota terkutuk ini.

Kala itu, untuk membuka salah satu kelopak mata saja sulit. Namun aku tetap berdiri, dengan suhu tubuh yang semakin menurun. Gigi-gigi geraham mendecak penuh nafsu. Jemari mulai mengkerut dengan penuh kecut. Sekarang situasinya hampir sama dengan saat itu, cuma berbeda sedikit saja, hanya lebih lama, dan lebih sedikit berbahaya.

Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Bagaimana nasib para kelelawar nakal yang sedang mengembangkan sayap petualangan mereka dalam menghadapi situasi malam hari ini? Bagaimana nasib sarang semut yang ada di halaman belakang rumahku? Dan berjuta macam pertanyaan lain. Hingga pada akhirnya, sebuah pertanyaan lama yang sangat sakral kembali muncul untuk menghantui imajinasi. Pertanyaan yang dari dahulu menampakkan wujudnya di tiap-tiap kesempatan kritis seperti ini. Pertanyaan yang menetapkan bentuknya --- kalimatnya hanya itu-itu saja, kata penyusunnya juga hanya itu-itu saja --- tidak pernah mau mengubah sedikitpun wujudnya. Namun jawabanku, seiring dengan roda jaman yang memacu laju, selalu berubah dan beradaptasi tergantung pada kondisi. Pertanyaan itu adalah: "Mengapa hujan turun tidak merata?"

Untuk saat ini, sang jawaban memilih jalan cepat dan singkat. Hujan memang tidak pernah turun merata karena itulah keadilan yang sejati. Hukum alam yang paling murni, keadilan pertama yang tercipta di bumi. Sampai kapan pun, rintik-rintik hujan itu akan terus menenggelamkan koloni semut yang bernasib sial. Membasahi sayap-sayap kelelawar yang murung hingga patah. Menghanyutkan pikiran dan logika.

Tetapi tenang saja, di dalam sini masih belum berubah. Hatiku masih hangat, jiwaku masih menyala. Mataku masih berbinar, menanti mentari untuk --- semoga saja --- bangun sekali lagi dari Timur. Dan hujan ini masih setia berperang melawan keinginanku.

Sayang sekali wahai sang hujan. Malam ini aku tidak mengalah. Api abadi bukan hanya sekedar julukan. Biar waktu yang menjawab semuanya. Asal jangan ia meniup hingga padam dan tersenyum lalu bilang bahwa semuanya telah selesai.

Teori "Setengah Isi - Setengah Kosong" Adalah Omong Kosong


Pernah dengar tentang gelas yang di dalamnya diisi air kurang lebih atau pasnya setengah. Kira-kira anda tipe yang mana?

Kalau jawaban anda adalah setengah kosong, selamat!
Anda adalah tipe pesimis yang pastinya banyak dihampiri oleh nasib sial. Kerja keras di kantor namun promosi tak kunjung datang menghampiri. Punya banyak impian namun banyak pula yang tidak tercapai karena terlalu jauh, dianggap terlalu susah maupun terlalu merepotkan. Kemungkinan besar anda juga sering berprasangka buruk terhadap orang lain. Jikalau anda gagal pasti anda mencari faktor lain sebagai kambing hitam yang nantinya pun akan anda adu dengan kambing hitam teman-teman anda yang memiliki tipe yang sama dan senasib dengan anda. Anda mungkin juga sering terkena efek sampah yang sedang tren bernama kegalauan sejuta umat. Sekali lagi selamat!

Kalau jawaban anda adalah setengah isi, selamat!
Anda adalah tipe optimis. Saking dipenuhi rasa ini, anda sampai-sampai menjawab dengan ala text book dan berharap beruntung sehingga orang-orang mengganggap anda spesial dan selalu mengobral senyum bahagia. Sayangnya, kemungkinan besar pasti hidup anda membosankan. Karena selalu melihat yang positifnya. Mungkin kalau anda terkena musibah, misal: tiba-tiba mata anda tertusuk pena yang entah kenapa melompat dari genggaman anda sewaktu anda menulis dengan semangatnya kerjaan di kantor. Kemudian anda buta seketika. Lalu mungkin anda bilang, "untung cuma satu mata, masih ada mata yang lain." Beberapa saat kemudian, anda mengambil pena yang sama lalu kejadian yang sama terulang lagi. Pasti anda juga akan bilang, " untung masih punya telinga." Dan begitulah seterusnya, sayangnya hidup tidak bekerja seperti itu. Jikalau seluruh dunia isinya orang-orang seperti anda pasti dunia akan damai, tentram dan bahagia. Tentunya juga akan membosankan hidup ini karena tidak ada perang. Sekali lagi selamat!

Jadi jawabannya apa?

Menurutku, walaupun di dalam gelas itu tidak ada air sama sekali masih saja kubilang gelas itu penuh. Kenapa? Karena aku adalah orang yang realistis. Jawaban versiku adalah gelas itu penuh. Untuk kasus diatas gelas itu berisi setengah air, setengahnya lagi adalah udara. Jadi gelas itu penuh. Jikalau di dalam gelas itu tidak ada airnya sama sekali, aih... tak perlu aku jelaskan lebih lanjut, toh kalian semua punya otak untuk berpikir. Itulah perbedaan antara orang pesimis, optimis dan realistis. Terserah anda mau pilih jadi yang mana. Tak usah ambil pusing, hidup tak boleh membosankan karena anda cuma bisa merasakannya sebanyak satu kali.

2012 Amin!

Tahun dua ribu dua belas, tahun baru. Sudah lama tidak menulis, dan rasanya blog ini terbengkalai. Kepada para pembaca yang masih setia menunggu dan bersabar, aku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Kalau boleh beralasan sebagai manusia biasa, kenapa di tahun kemarin sedikit sekali tulisan yang dimuat dan sungguh memang saya tidak produktif. Hal ini dikarenakan satu hal, yaitu skripsi. Sumpah!

Tapi akhirnya kemarin tanggal 8 November 2011, akhirnya penderitaan akademis selama 7 tahun selesai juga. Alhamdulillah. Oleh karena itu sudah saatnya kembali menulis lagi. Memanaskan otot jemari dan juga pikiran yang sudah mulai berkarat dan tumpul karena terlalu banyak menulis tentang fakta dan data, terlalu banyak membaca referensi akademis yang membosankan.

Sayangnya tulisan seperti cerpen tidak bisa dimuat langsung, hal itu dikarenakan aku ingin benar-benar menulis secara profesional. Mungkin yang akan dimuat di blog ini adalah cerpen maupun tulisan-tulisan apa adanya ataupun yang ditolak di media-media. Mohon doa restunya teman-teman.

Selama tahun 2011 kemarin rasanya tidak ada yang spesial kecuali kematian Kim Jong Il, apakah ini akan membawa bencana atau berkah? Ya, semoga saja apa yang terjadi dalam 'Homefront' (game di PlayStation 3) tidak akan terjadi. Amin.

Sekarang menuju masa depan, karena status sudah menjadi pengangguran. Apa yang harus dilakukan ya sekarang? Inginnya sih santai-santai saja di rumah dan mendapatkan uang hahaha, seandainya hidup semudah itu. Namun pada kenyataannya kita semua mesti berjuang, toh ibunda kita masing-masing telah membawa kita ke dunia ini dengan segala jerih payahnya. Akan sangat mengecewakan apabila nasib kita menjadi headline di koran lampu hijau.

Berbicara tentang maraknya aksi bunuh diri dimana-mana akhir-akhir ini sungguh sangat disayangkan. Apakah memang mental manusia jaman sekarang begitu rapuh? Sedikit-sedikit putus asa lalu bunuh diri, aih! Tetapi memang manusia diciptakan rapuh dan penuh cacat, itulah yang membuat manusia menjadi indah, nyawa yang singkat membuat hidup menjadi berharga. Idealnya kita semua harus berupaya sekuat tenaga untuk melanjutkan hidup ini dan meneruskan warisan tersebut ke anak cucu kita.

Hmmm, melantur lagi. Mohon maaf. Kebiasaan lama memang susah dihilangkan. Selain banyaknya kasus bunuh diri, kerusuhan juga berlangsung dimana-mana, apakah ini pengalihan isu dari 2 kasus besar yang sedang diusut oleh KPK atau karena mendekati Pemilu? Mungkin keduanya, mungkin juga tidak ada hubungannya sama sekali. Toh aku ini cuma masyarakat biasa, wong cilik, rakyat jelata. Semoga saja NKRI semakin jaya di 2012 dan tahun-tahun mendatang, sekali lagi... Amin.

Apalagi yang seru di 2011? Demam bola mungkin, hahaha. Melihat fenomena ini berlangsung hanya membuat diriku sendiri tertawa, terutama apabila banyak para gadis, wanita, perempuan yang tiba-tiba menyukai sepak bola. Yah, semoga saja demam ini tidak pernah sembuh supaya cabang olah raga primadona ini bisa semakin maju. Juga dengan cabang-cabang olah raga lain tentunya. Amin lagi lah.

Sampai sini saja dulu, buat yang membaca sampai selesai terima kasih banyak. Tanpa dukungan kalian, aku bukan apa-apa. Maaf, aku juga tidak mencalonkan diri di Pemilu mendatang.