Surat Untuk Libitina

Seorang gadis berambut hitam lurus dan halus seperti sutra, memakai kacamata berbingkai bentuk kotak. Senyum yang ia miliki sangat sempurna. Hanya perlu sekali melihatnya saja dan engkau bisa menilai senyum itu yang terbaik di dunia ini. Libitina, begitulah kedua orang tuanya memberikan ia sebuah nama.

Libitina gadis yang baik, selalu tahu akan etika dan berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang bulu. Meskipun begitu, entah kenapa peruntungan selalu buruk. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk bermusuhan dengan Dewi Fortuna.

Suatu pagi yang cerah, tanggal 1 Januari 2009. Seperti biasa, ia melakukan rutinitasnya. Mematikan bunyi alarm yang mengganggu mimpi indahnya. Mencuci muka dan menggosok gigi kemudian pergi ke pintu depan rumahnya untuk mengambil koran dan mencari-cari berita apa yang dilewatkan olehnya kemarin. Sudah menjadi kewajiban bagi dirinya dan sebuah tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis untuk terus memburu informasi.

Tapi pagi itu... alangkah terkejut dirinya menemukan sebuah surat dengan amplop hitam. Surat itu begitu saja tergeletak di depan pintu rumahnya, namun sang pengirim tidak mencantumkan namanya. Hanya sebuah alamat pengirim. Libitina lahir dengan rasa penasaran yang berlebihan. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung membuka dan membaca isinya.

Surat itu memang aneh, amplopnya hitam dan kertas didalamnya hitam. Libitina heran melihatnya, mengapa jaman sekarang yang serba canggih ini masih saja ada yang memakai jasa merpati jingga tersebut.

Rasa keingin-tahuannya memuncak. Pelan-pelan ia membaca surat itu. Surat dengan tulisan berwarna merah seperti darah.

"Halo!
Siapa disana?
Bolehkah aku berkenalan?
Aku hanya ingin mencari teman baru, teman untuk menulis.
Bukan teman-teman palsu seperti dalam dunia jejaring sosial."

Libitina hanya terseyum, tidak muncul satu kecurigaan dalam dirinya. Ia kemudian beranjak masuk kembali kedalam rumah. Awal tahun, semua orang libur.

"Ah... awal tahun ya. Kok ada orang yang mengirimkan surat ini. Tidak ada salahnya aku mencoba untuk membalasnya. Siapa tahu aku akan mendapat teman baru." Libitina berbicara kepada dirinya sendiri.

Memang begitulah hidup seorang wanita karir yang gemar bekerja. Tidak punya pacar untuk menemani liburan dan sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga karena terlalu sibuk. Libitina tenggelam dalam kesepiannya.

Ia pun pergi ke ruang kerjanya. Dasar wanita sinting yang gila kerja! Akhirnya Libitina mulai menulis surat balasan untuk pengirim misterius tersebut.

"Halo!
Siapakah gerangan yang mengirimkan surat misterius ini?
Tidak sopan untuk berkenalan sebelum mengenalkan diri terlebih dahulu."

Jawaban yang singkat, jelas dan padat. Kemudian ia mengorek-ngorek laci mejanya, berharap menemukan sebuah amplop dan perangko yang masih layak pakai. Maklum, jaman sekarang semua sudah terhubung melalui internet dan segala fasilitasnya bisa gratis. Untuk apa repot-repot melakukan pemborosan dengan membeli amplop dan perangko?

Ia menuliskan alamat yang dituju. Jalan Tumbal No. 13 Kavling X, Jakarta.

Libitina kemudian pergi menuju kotak pos terdekat. Kotak yang usang dimakan waktu, kotak yang mencerminkan nasib dirinya. Kotak yang selalu berdiri tanpa kenal lelah melayani hingga akhirnya terbengkalai dan dilupakan.

---------

Esok harinya, lagi-lagi sebuah amplop hitam muncul. Libitina dengan cepat mengangkat amplop itu dari karpet bertuliskan 'Welcome'. Karpet yang masih bagus sekali, seperti tidak pernah diinjak oleh seorangpun di dunia ini.

Hari itu sudah kembali benar-benar menjadi normal, Libitina orang yang disiplin. Secepatnya ia merapikan diri. Menuangkan air panas kedalam sebuah cangkir untuk memasak mie instan. Meminum hidangan tersebut seperti jus lalu bergegas pergi ke kantor.

Begitu ia sampai di kantor. Libitina membuka satu per satu surat-surat yang ada di atas mejanya. Setelah habis membaca itu semua, barulah ia ingat akan amplop hitam misterius itu. Padahal itu satu-satunya surat yang memberikan dirinya sebuah kesempatan untuk bersosialisasi. Dasar betina yang suka memeras keringat!

"Terima kasih sudah sudi meluangkan waktu untuk membalasnya.
Aku hanya seorang manusia biasa.
Tepatnya seorang pria.
Aku malu untuk memperkenalkan namaku, tapi apalah arti sebuah nama?
Maukah engkau menjadi temanku?
Salam Kenal Ya."

Itulah yang tertulis dalam surat itu. Libitina pusing setengah mati, mengapa ada orang seaneh ini di jaman modern yang serba praktis. Merasa rasa penasarannya belum terjawab, ia memutuskan untuk memberi sebuah balasan lagi.

"Salam kenal juga.
Aku juga seorang manusia, sayangnya kita berbeda kubu.
Aku berada di pihak hawa.
Wah, benar... apalah arti sebuah nama.
Bukankah yang terpenting adalah niatnya?
Darimana Mas mendapatkan alamatku?
Apa yang bisa aku bantu, Mas?
(Boleh aku memanggilmu begitu?)"

Libitina, seorang jurnalis yang dipercaya di kantornya. Karena reputasinya itu, semua orang menghormatinya. Tidak jarang beberapa koleganya bersaing mati-matian untuk merebut hati dan senyumnya yang sempurna itu. Apa boleh dikata, Libitina jauh mencintai apa yang disebut kerja... daripada sebuah penis. Dasar wanita errr... gadis karir!

--------

Lagi-lagi keesokan harinya. Amplop hitam misterius yang ditunggu-tunggu muncul. Kali ini Libitina tahu mana yang lebih asik untuk dikerjakan. Libitina membaca isi surat itu...

"Sudah tentu boleh dong, Mbak.
(Aku juga boleh ya memanggilmu seperti itu?)
Aku tahu alamat Mbak murni karena keisengan, sekedar coba-coba di waktu luang.
Eh, ternyata mendapat balasan.
Beruntung!
Lebih beruntung lagi kalau ternyata seorang wanita hehehe...
Kalau aku punya masalah boleh aku cerita?"

Libitina senang sekali menolong orang. Sudah pasti ia dengan mudah menerima penawaran orang misterius itu. Kembali ia menuliskan balasannya.

"Boleh dong!
Tapi ganti-gantian ya.
Memang situ doang yang punya masalah hahaha...
Kalau aku bisa membantu Mas, dengan senang hati pasti akan aku lakukan. :)
Memangnya...
Mas punya masalah apa?"

Libitina membalas surat itu tanpa pikir panjang penuh perasaan senang. Mungkinkah Libitina jatuh cinta kepada Si Misterius itu? Ah... mustahi!

Tak lupa, Libitina menyuruh seorang office boy andalannya untuk membelikan amplop dan perangko karena stok yang ada di kantor sedang habis. Tentunya office boy yang bersedia menjadi kacung itu juga sedang diam-diam merencanakan aksinya untuk merebut hati sang primadona kantor, namun sayang... selalu saja aksinya gagal untuk mendapatkan perhatian dari Libitina. Maklum, namanya juga Libitina. Kerja nomor 1 yang lain belakangan, kecuali amplop hitam itu. Mungkin.

---------

Roda waktu terus berputar, tanpa terasa hari sudah berulang kembali. Terutama untuk Libitina... Senin bekerja, Selasa bekerja, Rabu bekerja, Kamis bekerja, Jumat kerja, Sabtu dan Minggu kalau bisa lembur! Begitu pula dengan kegiatan barunya, bermain sahabat pena dengan Si Pria Misterius.

Libitina menceritakan segala kegiatannya, membagi segala masalah yang sedang dideritanya serta memberikan solusi gratis bagi setiap cobaan yang sedang dihadapi oleh teman surat menyuratnya.

Tanpa disadari, Libitina membuka segala dirinya seperti sebuah buku. Kepada Si Misterius, begitu pula sebaliknya. Mungkin karena mereka berdua sama-sama tidak tahu nama dan sama-sama tidak kenal fisik, sehingga merasa semuanya aman saja untuk berbagi. Manusia memang aneh, segala tabiatnya tidak bisa diprediksi.

Sampai pada akhirnya surat yang dinanti-nanti muncul...

---------

"Mbak,
Sudah 1 tahun 2 bulan dan 25 hari, tidak terasa ya?
Selama itulah Mbak sudi menemaniku dengan surat-surat indah dari Mbak.
Terima kasih banyak.
Jika tidak merepotkan, sudikah Mbak bertemu denganku?"

Waktu terasa begitu cepat ketika semuanya berjalan dengan baik, selama itulah Libitina mengenal Si Misterius. Libitina sekarang tetap saja masih gila kerja dan juga muncul kegilaan baru... membalas surat-surat hitam yang selalu muncul setiap pagi hari di depan pintu rumahnya, tidak peduli apakah hari itu sedang libur atau bekerja, cerah maupun hujan. Surat hitam itu dengan setia tergeletak di karpet tulisan 'Welcome' yang masih kelihatan baru.

Libitina dengan perasaan bahagia membalasnya. Libitina tahu hanya inilah satu-satunya cara untuk menjawab rasa penasarannya. Bertemu langsung dengan orangnya, bertatap muka dengan Si Misterius. Hanya beberapa detik melihat dalam bola mata Si Misterius, barulah rasa penasarannya akan terjawab.

"Tentu!
Aku akan berkunjung besok, tapi aku tidak tahu jam berapa.
Seusai aku kerja, aku akan kesana ya Mas?
Tunggu aku Ok?
Aku sudah tidak sabar bertemu denganmu."

--------

Esok harinya, tanggal 26 Maret 2010. Surat hitam itu kembali berkunjung. Isinya yang sangat singkat namun mampu untuk membakar semangat Libitina, "Aku tunggu ya Mbak."

Sesampainya di kantor, Libitina tidak perlu membalas surat hitam itu. Tidak perlu mengacungi office boy yang diam-diam juga setia membelikannya amplop dan perangko balasan. Libitina tahu bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Si Misterius. Jantungnya berdetak dengan cepat di hari itu.

"Libitina, kamu pergi ke daerah ini ya. Liput semua kejadian disana. Secepatnya, Ok?" Bos Libitina memerintahkan untuk kerja di luar kantor, sembari menyerahkan alamat yang dituju dalam sebuah amplop.

Libitina kemudian membaca alamat yang diberikan. Matanya berbinar-binar. Dasar gadis maniak kerja! Libitina segera bergegas, ia merapikan dirinya dan keluar kantor untuk meliput. Memanggil taksi dan berjalan menuju ke tempat yang sudah diperintahkan sang Bos.

"Mau kemana Bu?" Supir taksi itu bertanya dengan ramah.

"Jalan Tumbal No. 13 Kavling X Pak. Secepatnya ya. Nanti aku kasih bonus."

Taksi itu melaju dengan cepat, menembus jalan-jalan ibukota. Membelah laju lalu lintas. Taksi itu bukan lagi sebuah mobil, taksi itu sudah berubah menjadi ular yang meliuk-liuk dengan lihainya untuk kembali ke sarang.

---------

Ckiiiiit! Bunyi rem taksi tersebut menderik. Bau mesin panas memenuhi udara disekitar, bercampur dengan asap polusi kentut yang dihembuskan pantat taksi itu.

"Bu, kita sudah sampai."

"Terima kasih Pak. Ini, ambil saja kembaliannya. Itung-itung sebagai bonus." Libitina memberikan selembar kertas dengan gambar Presiden Pertama beserta Wakilnya.

"Sama-sama Bu." Supir taksi itu tersenyum sumringah.

Begitu Libitina menutup pintu, taksi itu langsung memacu kembali gasnya dan kabur seperti koruptor.

Rumah yang bagus dan megah berdiri di depannya. Libitina dengan gugup menekan bel. Bunyi musik klasik yang dihasilkan bel itu memenuhi pikirannya.

"Permisi Mbok, ini rumah nomor 13?" Ia bertanya dengan sopan kepada wanita paruh baya yang sepertinya bertugas memelihara rumah megah tersebut.

"Maaf Bu, ini bukan nomor 13. Ini dulu nomor 13, sekarang jadi nomor 12. Yang nomor 13 sekarang di belakang rumah ini. Tinggal masuk gang sebelah."

"Terima kasih banyak Mbok." Libitina melanjutkan pencariannya, memasuki gang kecil disebelah rumah megah itu.

Libitina memacu langkahnya, ingin cepat bertemu dengan Si Misterius. Sayang, nasib berkata lain. Sebuah batu menjegal mata kakinya. Libitina jatuh tersungkur, kacamatanya pecah. Alas! Kacamata dengan bingkai berbentuk kotak yang berkilau, sekilau rambutnya yang hitam halus bak sutra kualitas tertinggi sekarang sudah retak terbelah-belah. Lensanya hancur berkeping-keping. Namun Libitina pantang menyerah, ia segera bangun dan merapikan dirinya. Memang itulah modal yang ia punya sebagai jurnalis, rasa pantang menyerah... disamping senyumnya yang sempurna. Sebuah batu tak mungkin dapat merenggut senyum itu.

Libitina meperlambat langkahnya, namun terus maju ke depan. Penglihatan Libitina buram, kacamata penolongnya sudah rusak.

---------

Sampai pada ujung gang tersebut. Libitina melihat sebuah pagar. Terpampang nomor 13, kecil sekali angka itu. Libitina tanpa menggunakan kacamatanya mesti mendekat dan memicingkan matanya untuk membaca angka itu. Layaknya para peneliti di depan mikroskop mereka.

"Hmm, ini ya nomer 13. Akhirnya sampai juga. Apakah aku sudah siap bertemu dengannya? Aku tadi jatuh, mungkin sekarang aku kotor dan tidak rapi. Bisa buruk ni kesan pertamanya. Aku sudah 27 tahun sendiri, sudah saatnya mencari seorang pasangan. Ah... sudahlah, jangan terlalu berharap banyak. Toh kalau sebatas itu saja ia menilai diriku. Berarti memang ia bukan pria yang aku nanti-nanti selama ini." Kebiasaan Libitina muncul, ia berbicara dengan dirinya sendiri. Begitulah saat ia menghadapi sebuah keraguan.

Pandangan Libitina berkabut, tidak mampu melihat lebih dari 1 meter apa yang ada di depannya. Bayangkan betapa tebalnya kacamata yang ia miliki. Belum lagi setiap membaca tulisan yang tidak ia mengerti, Libitina selalu mendekatkan tulisan itu ke matanya dan memicingkan mata seperti kondisinya saat ini. Salah satu penyokong nyawa Libitina sudah tidak ada, kacamata yang setia menemaninya sudah hancur sekarang. Ia hanya terus maju memasuki tempat itu. Tidak ada bel, pagarnya tidak terkunci. Berharap menemukan pintu yang bisa diketuk.

Tiba-tiba... Gubrak! Libitina lagi-lagi jatuh, ke dalam lubang di tanah. Lubang yang berbentuk kotak persegi panjang. Lubang dengan kedalaman 1,5 meter, lebar 1 meter dan panjangnya tidak diketahui. Libitina bingung, mengapa ada lubang seperti ini di tengah jalan. Dasar Libitina, ceroboh sekali.

Libitina terus maju di dalam lubang itu. Ah ternyata panjang lubang itu hanya 2 meter. Pantas saja Libitina tidak tahu panjangnya, pandangan ia sangat terbatas. Namun Libitina lebih heran lagi dengan apa yang ditemukannya di ujung lubang itu. Sebuah prasasti dari batu dan sebuah pohon besar berdiri dengan tegap menaungi prasasti dan lubang itu.

Kemudian angin berhembus dengan keras, awan berlarian, petir menyambar dan hujan mulai turun. Libitina panik, ia berusaha menggapai prasasti itu untuk mengangkat dirinya keluar dari lubang sialan itu. Lubang keparat yang membuat dirinya semakin kotor dan tidak siap untuk bertemu dengan Si Misterius.

Libitina meraba-raba prasasti itu. Berharap mampu untuk menggenggamnya, lalu kemudian mengangkat dirinya. Namun apa daya, hujan membuat permukaan batu menjadi licin. Libitina terus meraba-raba, ia pantang menyerah. Kemudian ia kaget! Di permukaan halus prasasti itu, telah terukir namanya.

Kilatan cahaya menyilaukan, tidak sampai satu detik.

Buaaaaak! Sebatang kayu besar jatuh menimpa tepat persis di ubun-ubun kepalanya. Petir telah menyambar pohon itu dan bau hangusnya tersebar luas. Barulah terdengar bunyi halilitar yang menggema.

Libitina jatuh tersungkur, kembali di dalam lubang itu. Menengok ke arah kiri dengan sisa tenaga yang ia miliki, yang terlihat hanyalah air comberan hujan bercampur darah segar dan tetesan air matanya.

Di prasasti itu tertulis:

--- Libitina ---

14 Februari 1983 - 26 Maret 2010

Thanatos rindu akan pelukan dinginnya



Catatan:
Ditulis untuk memenuhi Janji Jumat dengan tema 'Surat Tanpa Nama', namun apa daya aku memang pemalas dan baru selesai hari ini. Mohon maaf.

Berlawanan

Yang namanya 'terang' itu tidak ada...

Yang ada hanyalah kondisi dimana gelap belum datang berkunjung,
Menyapa dan memeluknya sampai roda waktu berhenti berputar.

Dipatuk Ayam

Suatu hari, mahluk paling cantik di dunia ini membangunkan diriku. Dialah yang mengantarkan nyawa titipan Tuhan ini ke dunia dengan segala jerih payah dan penderitaannya.

Waktu itu pukul 2 siang dan aku masih saja terlelap di atas kasur sembari memeluk guling kesayanganku yang super empuk. Tentu saja wanita itu tidak bisa tinggal diam melihat buah hatinya masih saja bermalas-malasan, karena ia tahu aku tidak bisa menghasilkan uang di atas kasur karena jikalau aku menjadi gigolo pasti tidak laku.

"Mas, bangun tooo! Uwes siang iki." Sembari menepuk pantatku dan mencium pipiku.

"Hmmm...." Jawabku untuk menjamu rutinitas siang hari yang membosankan.

"Hayo bangun! Uwes jam loro iki! Cepet to." Perempuan pendamping Tuan Besar itu masih terus saja mendesakku.

"Hmm, iya Ma. Aku kan smalem baru tidur jam stengah 5-an." Alasanku mencuat keluar.

"Sopo suruh begadang. Mama tunggu ya dibawah."

Aku mengambil nafas dengan perlahan, santai sejenak lalu berusaha mati-matian menghimpun seluruh energi di jagad raya ini untuk masuk ke dalam diriku agar aku mampu untuk mengangkat pantatku dari istana kecil milikku ini.

Sampainya dibawah, aku langsung menuju kulkas dan meneguk segelas air putih dingin. Mengambil koran, melihat-lihat sebentar (tidak dibaca tentunya) lalu menyapa Mama dan Papa.

"Mas, klo bangun yang pagi to! Kowe iki, kerjaanmu turu-mangan-turu-moco komik. Oalah Cah Bagus." Mama kembali memberikan wejangan spesial siang hari untuk memotivasi diriku.

"Iya Ma, santai aja napa. Sarapan dong."

"Bi Isah lg masak makan siang, nanggung skalian makan siang aja."

"Okeh, tp diganjel mie goreng dobel dulu bisa ni."

"Udah nanti aja makan nasi dulu. Kamu kalo bangun pagi gt, yg disiplin. Klo ga bangun pagi nanti rejekinya dipatok ayam."

"Iya Ibundaku tercinta Raden Kanjeng Roro tercantik sedunia, bawel deh. Aku tetep masih mau mi gorengnya loh."

Kemudian aku kembali ke kamarku untuk menunggu mie goreng datang, menggeletakkan tubuhku diatas kasur dan memeluk guling. Menuju ke alam mimpi lagi.

---------

Aku mengasumsi bahwa 'rejeki dipatok ayam' itu merupakan kiasan yang dipinjam dari bangsa barat... 'Early birds get the worms". Memang menyeramkan kaum itu, begitu kompetitif dan disiplin.

Setiap kali aku dinasehati seperti itu, aku hanya bisa tertawa kecil dalam hati. Mengapa?

Secara sederhana aku hanya bisa menjelaskan sebagai berikut:

Burung yang bangun pagi, akan memakan cacing-cacingnya. Tapi bagaimana dengan nasib cacing yang bangun pagi?

Hahaha! Jadi wahai para cacing, masih sudikah membaca lanjutan tulisan ini?

Aku tentu saja bukan cacing... itu sudah jelas dan fakta. Aku ini mahluk malam yang rindu akan sinar mentari hanya untuk membutakan mataku. Sementara kalian wahai para cacing tanah yang bangun pagi, apa yang bisa kalian lakukan?

Cacing tetaplah cacing. Biarkan para cacing bermimpi untuk menjadi naga. Toh pada akhirnya itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Turunkan saja mimpimu itu, kalau melamun nanti bisa dipatuk burung yang bangun pagi. Berhati-hatilah!

Mungkin yang bisa kalian lakukan --- wahai para cacing penunggu tanah penuh tinja --- adalah bertapa, bermeditasi dan puasa berbulan-bulan untuk menjadi kupu-kupu. Tapi tentu kalian mesti ingat bahwa... cacing tetaplah cacing! Menurunkan mimpi jadi kupu-kupu adalah hal yang mustahil. Kupu-kupu hanya bisa dihasilkan dari ulat yang bekerja keras lalu mendisiplinkan diri. Jadi abaikan saja mimpimu menjadi kupu-kupu dan tetaplah menjadi cacing bermandikan limbah lumpur. Tak lupa, akupun mengucapkan selamat untuk para ulat yang bekerja keras.

Lagi-lagi perlu diingat bahwa ulat yang bangun pagipun tentu akan menjadi mangsa burung yang bangun pagi. Hahahahahahaha!

Lantunan Doa Kembali

Malam ini, aku kembali dari mati suri. Nyamuk itu dengan rakusnya membangunkan diriku, menghisap setiap tetesan-tetesan dosa yang mengalir deras dalam darahku. Perlahan namun pasti. Tetapi, tetap saja masih banyak sisa yang bernaung... kembali tenggelam lebih dalam lagi.

Aku menatap langit-langit kamar, merenung sejenak. Lalu memutuskan untuk pergi keluar mencari gadis angin untuk memeluk diriku. Agar aku dapat kembali dalam mimpi hitamku lagi.

Dalam perjalananku, aku menemukan sebuah lampu jalan yang bersinar remang. Aku penasaran, apakah doaku yang sebelumnya sudah dikabulkan. Akupun bertanya.

"Hey lampu! Siapa Tuhan disini?"

...

Aku kembali melanjutkan jalan malamku dan menemukan tong sampah yang bersih, tikuspun enggan tinggal di dalamnya. Aku kembali bertanya kepada tong sampah, sebuah pertanyaan yang masih saja sama maknanya.

"Hey tong sampah! Siapa Tuhan disitu?"

...

Apakah mereka berdua telah bersekongkol untuk memberikan jawaban yang sama? Aku pergi karena bosan. Aku menemukan batu-batu tergeletak di pinggir jalan. Belajar dari pengalaman terakhir, aku menanyakan hal berbeda namun tetap sama.

"Hey batu-batu! Siapa Tuhan kalian?"

...

Gila! Semua yang aku tanyakan bersikap seperti itu. Tanaman, binatang dan benda-benda yang aku temukan dalam jalanku yang sepi. Mereka semua telah bersekongkol, sialan!

Lalu aku kembali... kemudian terlintas begitu saja dalam benakku.

"Mungkinkah doaku yang sebelumnya sudah terkabul?"

Aku tertawa bahagia dalam hati, sebuah rasa puas muncul. Bahkan berjuta-juta tepuk tangan yang aku berikan seperti tetesan hujan tak mungkin mampu untuk memuja Tuhanku.

Seperti biasa, sebelum tidur aku melakukan ritual itu. Lagi-lagi milyaran pertanyaan muncul, sampai pada akhirnya...

"Hey Tuhan! Engkau memang hebat, semua yang tadi aku tanyakan dalam perjalananku tidak ada yang mengenal Tuhan. Haruskah aku sekarang berperan sebagai juru penyelamat dengan mengenalkan diriMu kepada mereka semua?"

...

"Bagaimana Engkau membantai Tuhan-Tuhan yang lain? Ceritakan kepadaku, ayolah. Dengan sadiskah? Atau dengan licik mengadu mereka satu sama lain? Cepat ceritakan kepadaku, aku butuh dongeng sebelum tidur. Ya, ya ya?"

...

"Huh! Tak apa, aku tetap senang kok. Kalau begitu, ijinkan hamba yang hina ini dan semakin lama semakin tidak tahu diri untuk berdoa sekali lagi. Tolong kabulkan wahai Yang Maha Pemberi. Ini akan menjadi doa terakhirku. Aku berjanji dan Engkau tahu bagaimana aku memperlakukan seluruh janji munafikku."

...

"Tuhan, Yang Maha Hebat. Terima kasih banyak sudah membantai semua yang lain. Untuk selanjutnya tidak ada lagi Tuhan disitu, Tuhan disana, Tuhan kalian, Tuhan mereka dan Tuhanmu. Puji sukur. Sekarang aku berdoa dengan tulus, bahkan aku rela menggadaikan jiwaku ini agar terkabul. Sudah tentu Engkau tidak akan melewatkan kesempatan langka ini bukan?"

...

"Tuhan, Yang Maha Kekal. Aku mohon... Engkau, wahai Yang Maha Bisa, lakukanlah aksi bunuh diri? Karena masih ada Tuhan Disini, Tuhanku dalam diriku. Jadi, apakah Engkau relah melakukan aksi itu? Mau?"

...

"Dan jangan hidup kembali, ya? Engkau Maha Jujur, jadi bermain dengan adil. Janji?"

...

...

...

Sunyi, senyap, sepi... sendiri.

???

"Hey Tuhan! Mana petirnya?"



Aku menunggu dengan setia sampai doa itu terkabul. Dalam mimpi kelamku yang tiada akhir, karena tidak ada yang membangunkanku. Semuanya sudah mati sekarang.

Lantunan Doa

Malam ini, aku duduk sendiri dalam kelam. Duduk dengan tegap, menegakkan jiwa. Melipat kedua betis diatas satu sama lain, membuka sepasang telapak tangan yang aku miliki. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Menundukkan kepala. Menutup mata, kemudian... diam.

Semuanya gelap, tidak berpikir apa-apa. Setiap pikiran yang mampir, berupa pertanyaan dan berhasil dijawab oleh suaraku sendiri. Apakah itu jawaban yang benar? Atau justru sengaja salah untuk menyesatkan? Ah... apalah arti benar atau salah.

Tiba-tiba, sebuah permintaan mengalir begitu saja. Seiring dengan tiap hembusan nafas yang aku sendiri lupa untuk menariknya kembali.

"Halo Tuhan, apa kabar hari ini?"

...

"Tuhan, hambamu yang hina ini... dalam kesendiriannya. Memohon sebuah hal yang sangat mungkin untuk Engkau lakukan. Boleh?"

...

"Yang Maha Kuasa, aku pinta... agar Engkau wahai Yang Paling Benar dari segala kebenaran yang ada. Bunuhlah semua Tuhan yang lain! Agar mereka semua tahu bahwa Engkau Yang Terkuat. Terutama Tuhan miliknya yang dibangga-banggakan itu. Sanggupkah?"

...

...

...

Tiba-tiba bunyi halilintar mengagetkan diriku dan seketika itu juga penglihatanku terbuka.

???

Kembali menuju ilusi.

Aturan Main

Hari itu cuaca mendung sehingga matahari mengedipkan sinarnya. Waktu tepat menunjukkan pukul 11:00. Aku dan rekan kriminalku memutuskan untuk pergi ke pasar. Mengapa ke pasar? Karena kondisi keuangan mengharuskan, harga supermarket tidak begitu ramah kepada para mahasiswa.

Ternyata kesiangan memang menurunkan keberuntungan yang dimiliki. Kebanyakan penghuni pasar itu sudah pada minggat ke rumah masing-masing untuk menonton acara gosip waktu istirahat makan siang. Laris manis terjual habis semua dagangannya, syukurlah. Tapi beberapa masih ada yang berjualan.

Seperti biasa, perbincangan bodoh dimulai...

"Nyet! Kesiangan kita, parah ni. Bisa ga dapet apa-apa."

"Ya elah, lo tau gitu jam bangun siang gw... ini masih dibilang dini hari tau!"

"Haduh, kira-kira dapet ga ya... semua yang nanti dibutuhin buat masak?"

"Dapet kali, santai aja. Rejeki ga akan kemana."

"Tapi kata mak gw, klo ke pasar siang-siang itu jorok."

"Laaaaaah! Namanya juga pasar tradisional, maklum kale. Emang kondisinya masih kaya gitu, masyarakat juga blom gitu sadar tentang kesehatan dan segala tetek bengek yang dianggap kurang penting," Aku menceramahi dirinya seperti biasa.

"Gw jg tau begooo! Maksud mak gw, klo datengnya kesiangan itu jorok!"

"Kenapa sampahnya numpuk ya? Ato uda berantakan?" Aku kebingungan.

"Klo itu pagi-pagi juga uda banyak. Kata mak gw, klo ke pasar jangan kesiangan. Barang dagangannya kan uda pada dipegangin orang-orang. Lo kaya kaga tau ibu-ibu aja, kan klo blanja milih-milih, raba-raba, grepe-grepe dulu barang yang mau dibeli. Jorok, jijay. Ngebayanginnya aja gw da males!"

"Haduuuuuh..." Aku kehabisan kata-kata untuk membalas.

Akhirnya kita berdua keliling pasar untuk membeli apa saja yang bisa digunakan untuk meredam amukan asam lambung. Mulai dari sayur mayur, 'brambang' (bawang goreng), bumbu masak dan juga ayam... karena aku bukan vegetarian. Lihat saja taring-taringku yang selalu terasah tajam dan siap mengoyak segala jenis daging yang melawan ketika masuk dalam mulutku. Tidak lupa, akupun tergopoh-gopoh mengangkat beras yang akan dibawa kembali ke markas. Rekan kriminalku juga tidak luput untuk melakukan aksi yang sama, aksi yang dianggapnya sebagai jorok dan jijay tadi, memang genetika selalu jujur.

Sesampainya di markas, kosan rekan kriminalku itu. Persiapan untuk memasak dimulai. Tapi... Oh! Ternyata, pada saat mencuci ayam. Ternyata ayamnya penuh dengan tulang, padahal rekan kriminalku secara spesifik sudah bilang kepada penjual bahwa minta dada ayam di fillet. Jadilah kita berdua kena getahnya karena bangun terlalu siang. (Sebenarnya ini semua murni kesalahanku karena jam biologisku yang bergerak secara acak, maaf ya.)

Setelah kejadian itu, aku menganalisis baik-baik... mengapa hal itu bisa terjadi? Logika yang aku miliki hanya menjawab seperti ini:

"Jelas aja! Seluruh dagangan milik penjual yang jujur selalu laris manis dan murah meriah (dalam arti mampu bersaing) pasti sudah diborong habis oleh para ibu rumah tangga yang begadang malamnya untuk mencari harga paling murah sebagai pembawa rejeki atau penglaris. Kalau bangun kesiangan, sisanya adalah para penjual yang kemungkinan besar tidak beres."

Seharusnya aku menyadari hal ini lebih awal, di kunjungan keduaku nanti... aku sudah mempersiapkan strategi perang! Tunggu aku wahai para pedagang yang tidak laku sehingga masih berjualan di siang hari!

Untuk para pembaca yang setia, hati-hati kalau membeli di pasar. Jangan sampai kena tipu. Usahakan membawa orang yang berpengalaman untuk mengajari intrik-intrik permainan jual beli di pasar tradisional. Kalau sudah banyak tahu, jangan lupa berbagi kepada yang lain ya.

Ngentot! Fillet ayamnya jadi sedikit. :(

Celebrating My Lubitel Comeback!

From November last year, until this afternoon... I lost my lubitel. :(

Exactly... I forgot where I put it, and its always make me crazy.
Damn those substances! Makes my mind jumbling tumbling.

I miss her, I named her "Lucreatia".

But, this afternoon. My partner in crime found it! In fact, it's hidden beneath all of the shit inside my closet. Stupid me, and lazy me...
I didn't look in there.

I'm so happy, so I'll post my last photo I took with her.

Camera : Lubitel 166 U
Film : Fuji Neopan Across 160
Location : Bandung Zoo

The place sucks, don't go there. Believe me! All of the fucking visitors are more savages than the animal in cage, especially when throwing garbage and feeding the animal with junk food, I CURSE THEM!

Anyway, here it is. Hope you enjoy as much as I do.
Sorry for the ugly pictures.

Blame me! Not the cloudy hell weather. :)


a cow in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a camel in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a lion in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a komodo in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a turkey in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a crocodile in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160
a phasant in bandung zoo with lubitel 166 u and fuji neopan across 160

Untuk Anda

Wahai para pembenci kehidupan, apa kabarmu hari ini?
Sudah siap mati atau masih pusing memilih cara yang mana?

Kenapa membenci hidup?

Tanyakan pada Tuhan...
Tetapi sebelum itu...
Tanyakan sendiri kenapa jantungmu masih berdetak...

Sampai disaat engkau membaca kalimat ini.

Mati saja. Tidak perlu repot.
Atau takut kepada neraka?

Tidak apa-apa, disana hangat.
Bukan seperti surga terisi penuh kebahagiaan yang dingin.

Ayo, tunggu apa lagi!

Mati cuma bisa dicicipi sekali,
Hidangan terbaik yang pernah ada,
Bukan orgasme-orgasme palsu yang diobral.

Masih takut kepada neraka?
Masih ada kemungkinan Tuhan untuk salah kok...
Sehingga, mungkin, mungkin, mungkin saja...
Dia melemparmu ke tempat dingin itu.

Hey PEMBENCI KEHIDUPAN!

MATI saja!

Jangan penuhi bumi ini dengan keluhan.

Toh, Dia menciptakan apa yang kita namakan sebagai...
Kehendak bebas untuk berbuat.

Jadi...

Tunggu apalagi?

Mati saja ya sekarang.

Kalau masih takut neraka,
Jangan membenci kehidupan.

Karena hidup sekarang ini...



SAMA SAJA SEPERTI NERAKA!

Mc Skibadee feat. Rachel Wallace - All of My Junglists (Produced by Erb N Dub)

I stand back and take a chance away from life. This precious place make me go crazy.

Won't you feel it? You've been gone too long.

Your mind will set free!

Anyone got the lyric? I can't match the speed of Skibadee's saying.

This will stick in your mind, literally! Especially at the sick sound effects, shite!

Put your headphone on. Cut the crap, enjoy.


Aku Cemburu

Malam itu, seperti biasanya. Aku dan kamu menikmati sebuah makan malam untuk kita berdua. Dunia milik kita berdua dan segala isinya memusuhi kebersamaan yang kita nikmati. Sembari menunggu pesanan datang, kita berdua mengobrol hal-hal yang intim dan mesra... sampai pada akhirnya... di tengah kita berdua sedang asik bercakap-cakap.... kamu memutuskan untuk berdoa dan menghiraukan diriku, sebagai syarat mengucap syukur kepada Dia.

Seketika itu juga aku marah! Aku merasa dicampakkan dan kalah. Kamu bilang bahwa berdoa adalah ucapan rasa syukur atas pemberian yang dihidangkap di atas meja.

Tetapi, disaat itu kamu sedang bercakap ria denganku... kemudian mengacuhkan diriku untuk berdoa. Seraya aku tidak pernah nyata dalam kehidupan ini. Aku terbakar! Mengapa?

Lalu aku beralibi membela segala amarahku dengan berdalih:

"Sayang, hubungan itu ada dua jenisnya: 1. Hubungan vertikal, antara sebuah pribadi dengan Sang Pencipta, 2. Hubungan horizontal antara sesama manusia. Seperti segala hal di dunia ini, apabila tidak seimbang... maka semuanya akan runtuh. Berfokus pada kegiatan antar manusia, tidak akan mencapai langit yang tertinggi. Sedangkan mengutamakan hanya berhubungan khusus dengan Dia... akan berakhir seperti Menara Babel yang runtuh karena pondasi yang rapuh."

"Tapi sayang, aku tidak bermaksud untuk mengacuhkanmu. Aku selalu bersyukur atas segalanya. Aku bisa bertemu dirimu karena Dia dan segala yang tergeletak di atas meja ini adalah karunia milik Dia yang diberikan secara cuma-cuma."

"Tetap saja sayang, aku sedang bermesraan denganmu. Aku tidak rela dirimu untuk berbuat seperti itu."

Kemudian kamu mengucurkan air matamu, mengasihani diriku yang selalu hidup dalam kegelapan. Mengeluarkan banyak sekali wejangan untukku.

"Kenapa kamu menjadi orang asing? Ini bukan dirimu yang aku kenal. Aku mengasihani dirimu yang hidup dalam kegelapan."

Aku dengan mudahnya, tanpa rasa simpati... menjawab.

"Mungkin memang semua ini adalah semu dan selama ini kamu belum mengenal diriku."

"Kamu cemburu? Mengapa hal ini perlu dibesar-besarkan? Aku senantiasa berdoa karena aku ingin beribadah. Itulah salah satu caraku untuk berkomunikasi dengan Dia."

"Bukan saat ini sayang! Saat ini engkau sedang bersamaku! Jangan sekalipun memikirkan Dia."

"Tapi hal ini tidak akan membunuhmu, pembicaraan kita juga tidak begitu penting. Apabila dihentikan juga, toh tidak akan membuat jiwamu meledak dan mati... ataupun dunia ini kiamat. Kita sedang bercengkrama seperti biasa."

"Terserahmu!" Hanya itu yang bisa terlontar keluar dari mulutku.

Lalu, kalimat pemusnah itu keluar dari bibir manismu.

"Mengapa engkau merampas hak asasiku? Aku hanya ingin berdoa dan bersyukur atas semua ini. Tidak ada alasan lainnya. Maaf apabila membuat dirimu merasa diacuhkan."

Memang dasarnya aku keras kepala dan tidak mau mengakuinya. Perlahan-lahan aku meracuni pikiranmu dengan pendapatku yang subjektif tanpa dasar apapun.

"Ya! Aku cemburu dengan Dia!"

Aku teringat disaat dirimu senantiasa memberikan recehan untuk para pengemis. Kamu melihatnya seperti Dia yang sedang memberikan jalan untukmu, untuk melatih kasih yang ada dalam dirimu. Kamu melihat Dia dalam paras wajah sang pengemis itu, seperti Dia... yang sedang membutuhkan pertolongan. Memori itu berputar ulang dalam pikiranku, aku hanya tertawa. Lucu... kok Dia membutuhkan pertolongan. Lalu aku mengeluarkan itu sebagai langkah pertahananku yang berikutnya.

"Memang seperti itu apa adanya, aku melihat Dia dimana saja dan kapanpun."

Begitu jawabanmu yang sederhana namun tetap tegas bagai batu karang yang sulit diruntuhkan.

Aku masih keras kepala, kamu api aku juga api. Siapa yang akan membakar lebih besar dan memberikan cahaya yang lebih banyak? Aku terus mengeluarkan alibiku tentang jenis hubungan dua arah itu, dan berusaha menerangkan agar kamu mengetahui tempat dan saat melakukan hal itu diwaktu yang tepat.

Kita bertikai hebat saat itu juga, sampai pada ujung perdebatan.

"Kamu cemburu kepada Dia?"

"Ya! Aku cemburu kepada Dia, serta pada saat kita berdua bersama... hal itu yang paling penting disaat itu. Aku tidak akan mempedulikan yang lain."

"Bodoh! Dia yang seharusnya cemburu kepadamu, karena aku lebih sering menghabiskan waktuku bersamamu, karena dalam 24 jam aku lebih banyak mengingat dirimu daripada Dia. Apalah artinya 2 menit untuk bersyukur kepada Dia? Aku kasihan kepada dirimu, hidup tanpa pegangan."

Memang begitulah aku apa adanya, hidup tanpa sebuah pengangan. Bukankah itu lebih mengasyikkan? Aku tidak butuh asuransi selama aku bersamamu! Ya, aku benar-benar cemburu kepada Dia yang selalu dapat merenggut hatimu disaat terbaik... pada waktu kita hanya berdua saja tanpa menghiraukan apapun, namun kamu tetap dapat mengingat Dia. Aku akan meledak saat itu juga, karena kita sedang saling berkomunikasi --- yang kamu anggap biasa saja --- tetapi bagiku itu adalah hal yang paling penting melebihi apapun. Sedangkan kamu... lagi-lagi masih saja menyempatkan diri untuk mengingat Dia.

Kamu bilang bahwa apabila pembicaraan kita --- yang kamu anggap basa-basi biasa saja --- terpotong, dunia tidak akan meledak. Sayangnya, bukan seperti itu cara kerjanya dalam diriku ini. Jikalau itu semua telah terjadi, duniaku benar-benar meledak. Saat itu, kamu adalah yang paling utama. Entah mengapa.

Kemudian aku, diriku yang bodoh tanpa logika dan nihil empati meminta maaf kepada kamu secara habis-habisan. Untungnya kamu masih berlapang dada untuk menerimanya.

Sayangnya, masih ada yang mengganjal di hatiku yang hitam kelam ini. Jikalau dirimu bisa membayangkan sebuah pengemis sebagai salah satu jalan Dia. Apa yang bisa menjamin bahwa kamu tidak pernah sekalipun melihat Dia di dalam diriku? Aku tidak tenang. Apakah dirimu mencintai diriku... karena aku adalah aku, atau karena kamu melihat jalan Dia di dalam diriku?

Aku bertanya dalam diriku karena aku tidak tahu lagi harus bertanya ke arah mana dan kepada siapa.

"Mengapa menciptakan perbedaan? Mengapa tidak menciptakan Adam saja, bukankah itu cukup? Sedangkan apabila ia kesepian, mengapa menciptakan Hawa? Sebuah mahluk yang berbeda, diambil dari sebagian milik Adam... hasilnya adalah penuh perbedaan. Mengapa tidak menciptakan satu milyar Adam yang lain untuk menemani Adam yang pertama?"

Sampai saat ini semua masih belum terjawab. Mungkin, Dia milikku sedang pergi berlibur... dan Dia milikmu tidak akan pernah datang berkunjung. Itu sudah jalannya sayang. Mari kita nikmati saja semua ini sampai akhir yang telah ditentukan, toh kita sudah menganggap bahwa kita berdua telah berusaha semaksimal mungkin, bukan?

She

Stood there by herself
I came and observe

Her crown,
Golden and wavy like sun rays

Her white porcelain skin,
Such naive purity

And... the best part is,

Her transparent glazing eyes --- glaciers on ice.
Never fails to provoke the fierce phoenix inside,

Thus

I adore her.

An imaginary angel statuette,
That have been imprinted years on my mind,
Now...



Materialized.

Semuanya Mahal!

Hidup di jaman sekarang, membeli apapun terasa sangat mahal harganya. Inflasi telah memakan semuanya seperti iblis yang senantiasa haus akan rasa darah dan dosa. Mengapa semua ini bisa terjadi?

Hari itu... aku berjalan demi mencari sebuah rasa perdamaian. Melewati gang sempit di tengah ibukota, melihat para manusia sibuk dengan urusan masing-masing seraya tidak ada hari esok. Apakah yang ada di dalam benak mereka? Tidak usah memikirkannya, hanya akan menambah beban kehidupanmu saja.

Seorang pengemudi angkutan kota, menghembuskan asap rokoknya nan pekat. Di sebelahnya duduk sang istri dan bayi pertamanya nan mungil. Mereka tetap bersabar... meskipun bayi tersebut diliputi oleh abu-abu nikotin yang manis, ia masih saja tertidur dengan lelapnya. Bahkan bunyi mesin kendaraan tak mampu mengganggunya, sang istri tetap setia duduk disampingnya sembari memandang lewat pintu jendela.

Ah... dunia.

Sementara itu, di tempat yang lain dengan nasib berbeda. Seorang pengusaha sukses sedang menikmati cerutu Cuba, di beranda villanya yang terletak di bukit hijau nan asri. Ia terus saja menghembuskan asap itu, menikmati segala karunia Tuhan.

Ah... dunia.

Masyarakat yang hari ini masih mampu untuk makan mie instant agar asam lambungnya tidak menggerogoti, hanya untuk berpuasa di esok harinya. Tetap bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Bekerja keras tanpa lelah, tetes demi tetes keringat yang berharga sebuah koin. Sementara yang lain... beruntung nasibnya, meminum berbagai macam alkohol untuk bersilaturrahmi dengan para relasinya.

Jaman modern saat ini, semuanya mahal. Harga kian melambung tinggi tanpa mempedulikan apapun. Tidak mampu berarti mati dan gagal. Terputus rantai generasinya. Sebutlah itu apapun, mulai dari nasi, es teh manis, sepotong ayam, sambal, garam... bahkan kerupuk.

Tetapi tenang saja, sekarang ini masih ada yang murah. Sesuatu yang berharga, yang dimiliki oleh setiap orang, namun semua berlomba-lomba untuk menjualnya demi sesuatu yang semu. Apa boleh dikata, kehidupan harus terus berlanjut dan kita --- para manusia yang masih menjejak bumi penuh nestapa ini --- harus senantiasa rela mengorbankan apapun demi hari esok.

Ya, sesuatu itu masih murah harganya dan dapat ditemukan dimanapun. Disaat manusia lugu masih memancarkan sinar murni dari matanya, disaat orang yang memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbal jasa apapun, disaat semuanya itu bersifat sementara dan menyadarinya bahwa ini semua hanyalah sebuah titipan belaka.

Apakah itu?

....

Abad ini, hanya satu yang murah. Satu itu adalah sang sesuatu.

....

Sesuatu itu bernama kejujuran. Jujur saat ini sudah diobral dimana-mana, seperti toko yang mengadakan pekan cuci gudang tanpa mengetahui kapan akhir tahun. POTONGAN HARGA GILA-GILAAN!

....

Kejujuranku?

Alas! Semenjak aku lahir, aku tidak pernah memilikinya. Mungkin itu nasibku... dan mungkin itu pula yang membebaskanku dari semua ilusi ini.

#02

kemana perginya engkau wahai gadis pujaanku bernama kreasi? apakah engkau hanyut tersapu tangisan awan? atau mungkin perasaanmu sedang memburuk karena mengalami sindrom pra menstruasi, sehingga tidak mau bertemu dengan lelak ini. aku rindu untuk bercinta denganmu sekali lagi, tak apa biarlah darah terus mengalir dan kita tetap bercinta, melalulit mulutmu dan kelaminku.

oh tuhan, segala yang indah ini sangat meracuni batinku, jiwaku, ruhku, pikiranku, kalbiku. mengapa engkau menciptakan nya? a[akah aku akan mati karena semua keindahan ini? tidak! aku mungkin akan sperti pria cebol bernama napoleon itu yang dengan arrogannya menelan racun diluar ambang batas dosis yang ditentukan, dasar bdooh. kesombongan telah mngutuknya.

semua ini terlihat begitu komplek, ketentuan ketentuan yang tidak beradab, namun entah mengapa banyak sekali yang terlihat sederhana berupa kumpulan kebetulan beteluan yang terikat satu sama lain. apa jadinya dengan nab 2 sisi koin? tidak dapat disatukan kecuali dipisahkan. kemudain saling bertemu berhimpit... kemana perginya 2 rupa sisi tersebut? berbuha menjadi pols.

Pertanyaan Sederhana

Ketika rintik hujan turun perlahan. Aku melihat paras yang mengiris hati. Mulut besarku tak mampu menahan sebuah kata tanya yang sederhana...

"Kenapa?"

"Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Aku selalu memikirkanmu kemudian menangis...
Namun entah mengapa air mataku ini tak pernah habis kuberikan untukmu."

Melihat dirinya seperti itu, aku hanya bisa menarik nafas panjang dan perlahan. Lalu menghembuskannya hawa panas yang nista. Seolah beban yang ada di seluruh dunia ini terpaku di atas pundakku dan semakin lama semakin memberat.



Hujan selalu membuatku sendu.

Katana Lost? Impossible!


I'm a big fan of katana, seeing this animated gif makes me mad!

:( :( :(

How the fuck could this happen? Impossible!

Maybe they're using the wrong technique, or less chakra or reiki or I don't know some shitty inner energy. Goddamnit, I read too many mangas! The most rational thing is... they're using a fake chinese katana.

Here's some bonus...

Katana v.s. Broadsword explanation


Result:
Katana = speed + fighting finest
Broadsword = brute strength

And a little more extra

Katana v.s. bullet


Stupid dubbers make me laugh.

I think this is the best! Katana v.s. Arrows



Anyway my dearest readers, hope you enjoy watching this.

Some Kinda Rush by Booty Luv - Unqoute (DnB Bootleg)

I'm sorry my dearest readers, I didn't update this blog because there are some reasons. The first one is I'm still busy promoting this blog, the other is this absolutely wicked sick bootleg.

Yes, it's Some Kinda Rush by such underrated singers called as Booty Luv. I've heard this song years ago, but suddenly someone made a bootleg and it's killing my mind... the talented indie label Unquote.

The first time its melodies through my eardrums from Ministry Of Sound CD. Lately I search for it, and it's gone. Goddamnit!

Flows through my body, lifting me up, controlling my soul and I can't escape it. Literally!

Well, enough this non formal shitty chit chat. Hope you enjoy this as much as I do. Here's the lyric:

Feels like some kinda rush
Yeah yeah, so good
Wanna show you how I feel
Can't get enough, turn it up

It's like some kinda drug, irresistable lust
It flows through my body, it's lifting me up
So outta control, taking over my soul
I can't escape it, cause I'm caught in the zone

My pulse flows to the tempo
Oh I (I just can't escape, feel it time and time again)
Can't stop cause I've never felt so alive

Feels like some kinda rush
Yeah yeah, so good
Wanna show you how I feel
Can't get enough, turn it up

What feeling is this?
A desirable bliss (gives me butterflies)
Feels like my first kiss (I just can't deny)
I need this feeling to heal my belief in the moment

My pulse flows to the tempo
Oh I (I just can't escape, feeling tied and tied again)
Can't stop cause I've never felt so alive

Feels like some kinda rush
Yeah yeah, so good
Wanna show you how I feel
Can't get enough, turn it up

Feels like some kinda rush
Yeah yeah, so good
Wanna show you how I feel
Can't get enough, so turn it up

Some kinda rush...
Can't get enough...
So turn it up... (so turn it up...)

Feels like some kinda rush
Yeah yeah, so good (feels good to me)
Wanna show you how I feel
Can't get enough, (oh no...) so turn it up (turn it up!)

Feels like some kinda rush (turn it up)
Yeah yeah (yeah), so good (so good)
Wanna show you how I feel (I feel)
Can't get enough, (enough) so turn it up

This is the original version:



The official video clip can't be embedded, cheap bastard! Anyway you can still watch it here.

This is the Unqoute (DnB bootleg) version:



P.S. :
Before I posted this, I was trying to light my lovely Gudang Garam with a stove. Just because I lost my precious Zippo. Then something smells burn, and it was mine. My shitty hair! Fuck! I will never ever again light my cigarette with a stove. For your info, I really love the song part (marked with the red colored text).